1

7.5K 748 12
                                    


Mala baru saja keluar dari kamarnya dengan setelan pakaian kerja dan tas tangannya. Sayup-sayup Mala mendengar suara Leo sedang mengobrol seru dengan seseorang. Mala merasa mengenali suara itu. Jadi, ketika dia sudah menginjakan kaki di ruang makan, dahinya berkerut begitu menemukan Andi dimeja makan. Kedua remaja itu sedang mengobrol tentang klub bola yang tidak Mala pahami.

"Pagi." Sapa Mala yang membuat kedua remaja itu serentak menoleh padanya.

"Pagi, Bun." Jawab mereka serentak.

Mala tersenyum menatap mereka berdua, tidak lupa memberikan kecupan singkat dipipi Andi yang langsung tersenyum sumringah. Sedangkan Leo menatap Bundanya penuh antisipasi sebagai tanda kalau dia sudah tidak membutuhkan ciuman seperti itu lagi dari Mala.

Mala memutar bola matanya malas mendapati gestur tubuh putranya. Leo bilang dia sudah remaja, bukan lagi bocah ingusan yang harus dicium setiap hari. Mala hanya berdecih kesal saat Leo mulai memprotesnya. Mencium Leo sudah menjadi kebiasaannya, dan saat dia tidak bisa melakukannya lagi, itu sedikit membuatnya kecewa. Untung saja masih ada Andi yang selalu mengharapkan ciuman darinya.

"Mau teh, Bu?" tanya Bi Mirna pada Mala. Bi Mirna adalah asisten rumah tangga yang Mala pekerjakan sejak mereka tinggal dirumah itu.

"Nggak deh bi, air putih sama sarapan saya aja."

"Roti sama telur ceplok lagi?" tanya Leo yang menyerupai sindiran. "Bunda mau kurus gimana lagi coba? Lagian mau sekurus model Victoria Secret juga nggak akan bisa nutupin status Bunda yang janda."

Mala mendengus mendengar protesan putranya yang akhir-akhir ini terdengar semakin menyebalkan. "Bunda sama sekali nggak minat tuh mau selangsing model yang kamu sebut. Ini tuh cuma cara bunda untuk hidup sehat. Umur bunda udah hampir kepala empat. Sering akrab sama penyakit." Mala menusukan garpu kepotongan roti yang sudah dia sisihkan. "Lagian dari mana kamu tahu tentang model Victoria Secret? Kamu sering lihat-lihat majalahnya, ya?!" ujung garpu yang runcing itu Mala dorong kedepan, menunjuk Leo diseberang meja.

"Iya, dirumahnya Aunty Haru ada banyak." Jawab Leo kalem yang membuat Mala memejamkan matanya kesal.

Dasar Haruka, majalah seperti itu sembarangan banget dipamerin pada remaja seperti Leo.

Disela-sela merutuk Haruka dalam hati, Mala melihat Andi yang sejak tadi terus mengamati percakapan antara Mala dan Leo. "Nggak makan sayang?" tegur Mala.

Andi tersenyum kecil. "Andi suka dirumah Bunda. Rame." Jawabnya pelan sebelum mulai menyentuh sarapan paginya.

Mala merasa jawaban Andi sedikit mengganggunya. Membuatnya melirik kearah Leo yang juga membalas tatapannya dengan cara yang berbeda. Oke, Mala yakin kalau ada sesuatu yang tidak beres disini. Jadi, saat mereka selesai makan dan Andi mengambil tas sekolahnya dikamar Leo, Mala langsung menanyai Leo tentang keberadaan Andi dirumah mereka.

"Jam berapa Andi datang tadi malam? Seingat Bunda kamu udah masuk kamar jam sepuluh."

"Setengah dua belas."

Mala semakin mengerutkan dahinya. "Bunda rasa sekarang Andi semakin sering tidur disini." Gumamnya pelan.

Leo melirik kedepan, takut Andi muncul dan mendengar apa yang ingin dia katakan. "Bun, Andi... lagi ada masalah sama Papa."

"Masalah apa?"

"Andi cerita ke Leo. Dia bilang Papa mulai berubah akhir-akhir ini."

Andi menahan kalimatnya saat ekor matanya melihat Andi yang sedang menuju kearah mereka. Mala ikut menyadari itu dan buru-buru mengubah ekspresi wajahnya senormal mungkin.

"Mau berangkat?" tanya Mala.

"Iya. Andi bareng abang ya, Bun."

"Abang mau jemput temen tapi," sela Leo merasa bersalah.

Andi memberenggut. "Tadi katanya abang yang anterin."

"Lupa, Ndi. Kemarin udah janji sama temen mau pergi bareng. Kamu sama Bunda aja, ya."

Leo mengerling pada Mala yang langsung mengerti maksud putranya. "Yaudah, Andi bareng Bunda. Yuk, udah setengah tujuh, nanti kamu terlambat."

Selama diperjalanan, Mala banyak bertanya mengenai kehidupan Andi pasca ditinggal Amel selamanya. Andi banyak bercerita tentang rasa rindunya setiap kali memikirkan Amel. Empat bulan sudah sejak hari berkabung itu telah Andi lewati, tapi dari cerita Andi yang Mala tangkap adalah rasa kesepian Andi yang mendominasi.

"Papa kamu apa kabar?" tanya Mala pelan bahkan terdengar lirih. Mala bukan penasaran tentang kabar Raka. Dia sudah jauh lebih bisa mengendalikan diri jika harus membawa nama Raka didalam percakapannya dengan siapapun. Hanya saja saat ini dia penasaran tentang hubungan Andi dan Raka setelah mendengar ucapan Leo beberapa saat lalu.

"Baik." hanya itu yang Andi jawab, kemudian membuang muka keluar jendela.

Mala memberhentikan mobilnya saat lampu lalu lintas bewarna merah. Dia menoleh sempurna pada Andi sekarang, lalu menyentuh punggung tangan Andi dan meremasnya pelan. "Mau cerita sama Bunda?" tanya Mala.

Andi menatapnya. Ada kilat ragu dikedua matanya.

Mala memang memutuskan segala hubungan apapun yang pernah terjalin antara dirinya, Raka dan Amel. Tapi dia selalu menyisihkan ruang untuk Andi, menerima putra mantan suaminya dengan wanita lain itu dengan ikhlas. Jadi selama sepuluh tahun ini, dia tidak mempermasalahkan kehadiran Andi dihidupnya dan Leo. Mala bahkan bersyukur ada Andi disisi Leo pasca perceraian Mala dan Raka.

"Papa berubah, Bun. Sejak Mama meninggal, Papa jadi sering pulang malam, ngurung diri terus, suka minum." Andi tersenyum kecut. "Papa juga jadi sering marah-marah."

"Dia marah ke kamu?" tanya Mala.

Andi menggeleng pelan. "Marah kesemua orang kecuali Andi. Tapi... Papa jadi dingin banget sama Andi. Andi selalu coba cari waktu berdua sama Papa. Andi pikir Papa masih sedih karena Mama, mungkin butuh teman ngobrol. Tapi Andi selalu di tolak. Papa Cuma bilang Andi hanya harus belajar."

Lampu lalu lintas kembali berwarna hijau. Mala mengemudikan mobilnya lagi, kali ini dengan perasaan yang berkecamuk. Satu persatu hal yang kini singgah dipikirannya mulai disusun ulang. Setelah mereka bercerai, yang Mala tahu Raka dan Amel tetap melanjutkan hidup mereka. Mala yakin mereka hidup bahagia.

Empat bulan yang lalu Mala mulai berani mengorek informasi tentang Raka dan Amel melalui Andi. Amel yang ternyata menderita penyakit gagal Ginjal sejak tiga tahun belakangan ini. Dan kenyataannya, Raka selalu ada mendampingi Amel hingga wanita itu menghembuskan napas terakhirnya.

Mala tidak terlalu suka mengatakannya, tapi sampai detik ini hanya dia yang sangat mengerti bagaimana karakter mantan suaminya itu. Kalau Raka sudah melakukan segala hal semampunya disisa waktu Amel sebelum meninggal, maka mustahil lelaki itu bersikap seperti sekarang ini.

Penyesalan.

Demi Tuhan, Mala sangat yakin lelaki itu sedang bergelung dalam rasa sesalnya. Mala bisa merasakan hal itu didetik pertama mereka berdua kembali bersitatap setelah sepuluh tahun tidak bertemu. Tapi masalahnya, apa yang sedang Raka sesali?

The Chosen (Sebagian Part Sudah Di Hapus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang