15

4.7K 476 101
                                    

"Kulit abang jadi item." Celetuk Andi saat mereka berempat sedang makan siang bersama. Mala dan Raka serentak memerhatikan putra mereka. Leo sedang menikmati sate sebagai menu makan siangnya. Merasa diperhatikan, Leo hanya melirik orangtuanya sekilas dan kembali menikmati makan siangnya.

"Kamu kenapa seneng banget kulitnya jadi hitam begini?" tanya Raka. Sering kali dia memerhatikan setiap kali berlibur bersama Leo. Putranya itu senang berjemur, membuat kulit putihnya tampak menghitam.

"Tau nih abang. Nggak takut dikatain item?" sambung Andi.

"Nggak. Dari pada terlalu putih. Kaya cewek." Jawab Leo santai.

Raka memerhatikan kulit tangannya. Shit. Kulit putih Leo yang terlihat mulus itu memang turunan darinya. Apa tadi kata putranya? Kaya cewek? Raka melirik Mala sambil meringis samar.

Mala mengulum senyumnya. "Leo bener sih. Kulit kamu tuh keterlaluan putihnya. Kaya perawatan setiap hari gitu. Aku aja yang perempuan kalah loh,"

"Aku nggak perawatan," protes Raka.

"Ya mana aku tau kamu perawatan atau nggak."

Raka berdecak. "Tapi kamu tau banget aku nggak pernah suka yang begituan. Nemenin kamu kesalon aja dulu aku males."

"Males soalnya takut digodain sama orang salon kan? Kamu kan selalu jadi favoritnya banci-banci salon itu." Mala menyeringai jail.

Raka bergidik geli saat teringat ketika dulu dia sempat menemani Mala yang melakukan perawatan disebuah salon. Seluruh banci-banci yang bekerja disalon itu tidak berhenti menggodanya. Membuatnya mati kutu. Mala malah sangat bahagia melihatnya, dia bahkan sengaja memancing mereka semua dengan cerita-ceritanya mengenai ketampanan Raka dan hal-hal yang membuat para banci itu semakin tertarik. Dan sebagai balasannya, dia akan diberikan potongan harga oleh mereka.

Raka melirik Mala sebal. "Ulah siapa itu memangnya? Kalau udah urusan duit, kamu rela-rela aja kan jual aku kemereka?"

Mala tertawa terbahak-bahak melihat wajah sebal Raka yang menggemaskan. Apa lagi dia juga mengingat ulahnya dimasa lalu yang memang selalu membuatnya tertawa.

"Bunda jual Papa?" tanya Andi penasaran.

Raka mengangguk tegas. "Biar bayar salonnya jadi setengah harga, Bunda sengaja jual Papa ke banci-banci itu."

Andi ikut tertawa membayangkan Papanya sedang dikelilingi laki-laki gemulai dalam bayangannya. "Terus... terus... Papa diapain aja?"

"Nggak diapa-apain kok," jawab Mala disela tawanya. "Palingan dimintai nomer hape sama colek-colek dikit."

Raka mengusap tengkuknya sambil bergidik. Mengingat kejadian itu saja berhasil membuat bulu kuduknya merinding.

"Terus abis itu Papa kamu ngomel-ngomel ke Bunda. Sepanjang jalan."

"Pasti abis itu Papa ngambek?"

Mala mengangguk kuat pada Andi. Kedua orang itu tampak sangat menikmati obrolan yang membuat Raka menahan kesal.

Berbeda dengan Leo yang kini menatap kedua orangtuanya lekat. Ini aneh, pikirnya. Sejak di pantai tadi, sejak dia tidak sengaja melihat Raka menghapus air mata Mala, mereka berdua terlihat akrab. Seperti... sahabat lama.

Bahkan dimobil menuju tempat mereka saat ini, Raka dan Mala selalu terlibat percakapan yang menyenangkan entah itu tentang musik yang dulu mereka sukai ataupun makanan dan hal lainnya.

Cara mereka saling bicara seolah-olah mereka berdua tidak pernah melewati masa kelam yang menorehkan luka disepanjang hidup Leo.

Leo bahkan tidak pernah melihat orangtuanya bisa mengobrol sesantai ini. Tanpa ada perdebatan ataupun saling menyakiti seperti biasanya. Lihatlah bagaimana Mala sedang tertawa lepas sambil mengolok-olok Raka yang hanya mendengus tanpa perlawanan.

The Chosen (Sebagian Part Sudah Di Hapus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang