Part 20

3.6K 27 0
                                    

Mereka tiba di sebuah toko parfum yang biasanya mereka datangi untuk membeli wewangian yang selalu mengisi hari- hari mereka. Bukan toko besar. Hanya sebuah toko kecil milik keluarga sederhana yang sudah sejak dulu mereka (atau salah satunya) kenal pemiliknya. Tempat yang nyaman untuk memilih aroma yang mereka inginkan. Dengan pelayanan yang tak kalah prima dari toko- toko besar. Lengkap, dengan kualitas yang tinggi.

Koh Along. Pemilik dari toko mungil itu. Pria keturunan etnis Tionghoa yang sudah nyaris kehilangan ciri khas fisik dari etnis Tionghoa. Hanya tersisa mata yang tak lebih lebar dari sumpit alias sedikit sipit. Dia bahkan tak pernah bicara dengan dialek yang biasa di pakai artis- artis di layar kaca. Yang mengidentikkan keturunan etnis Tionghoa dengan orang yang cadel dan selalu mengawali kata- katanya dengan kata 'haiyya'. Bahkan dialeknya sama saja dengan orang- orang yang ada di sekitarnya.

"Siang, koh.." sapa Nino ketika melihat pemilik toko itu.

"Ah, Nino sama Riri.. Mau beli parfum lagi?" Nino dan Riri mengangguk serempak.

"Loh, bukannya kemarin udah beli banyak banget ya?"

"Kali ini yang biasa aja, koh.. Yang kemarin anggap aja buat stok setahun kedepan.." celetuk Nino. Membuat Riri mendelik padanya.

"Stok-nya kebanyakan, kak.. Ckckckc.." balas Riri. Koh Along nyengir mendengarnya. Dia tahu alasan yang membuat Nino membeli summer sebanyak itu kemarin. Dan dia juga sudah bisa melihat alasan hari ini Nino kembali membeli parfum yang biasanya dia pakai.

"Kamu pas banget, No.. Green teanya tinggal satu.. Belum dateng lagi kirimannya.." kata koh Along sambil menyerahkan sebuah tabung beling yang cukup panjang berwarna kehijauan.

"Oke, kalau gitu ini saya ambil ya.."

"Enak aja.. Beli dong.."

"Iya, maksudnya saya beli yang ini ,koh.." kata Nino sambil mengeluarkan beberapa lembar uang lima puluh ribuan dari dompetnya. "Kirimannya dateng lagi kapan, koh?"

"Nanti sore juga udah dateng kayaknya.."

Mereka tak langsung pulang dari toko tersebut setelah mendapatkan apa yang mereka inginkan. Mereka duduk bercengkrama dulu di dalam toko. Ditemani oleh secangkir teh hijau yang nikmat untuk koh Along dan teh melati untuk Nino juga Riri.

Mereka berbincang. Bertukar kabar tentang keluarga masing- masing yang jarang mereka temui. Terlebih setelah kedua orang tua Nino dan Riri mengurusi cabang perusahaan mereka yang ada di Seoul. Juga tentang kedua anak koh Along yang kuliah di luar negeri. Teman sepermainan Nino dan Rio yang memilih untuk meneruskan pendidikannya di luar negeri sejak bangku SMA.

Dan berbincang dengan koh Along begitu menyenangkan. Hingga tak merasakan si waktu yang terus berpamitan hingga nyaris siang. Ternyata perut juga yang menyadarkan mereka kalau telah banyak waktu yang terlewati di tempat itu.

"Kita pamit pulang dulu, koh.." kata Nino sambil bangkit dari kursinya.

"Nggak ikut makan siang dulu di sini?"

"Nggak deh, koh.. Makasih.. Kalo jie Mei lagi nggak ada, nggak lagi- lagi deh ikutan makan di sini.. Takut rasanya nggak keruan kayak waktu itu.. Hahahaha.." koh Along memukul pelan bahu Nino yang selalu saja mengejek hasil masakannya yang terlalu jauh meleset dari kata enak.

"Enak aja! Sekarang kokoh bisa masak tau!"

"Oh ya?"

"Iya lah.. Kalo Cuma telor ceplok, goreng tempe tahu, sama tumis kangkung mah sekarang udah ahli.. Hahaha.."

"Tetep meragukan, koh.. Hahaha.. Kita pulang dulu ya.."

Nino dan Riri kembali masuk ke dalam mobil. Menyalakan mesinnya dan membiarkannya menghangat sebentar sebelum memacunya di jalan raya. Jakarta yang panas membuat Nino memasang pendingin mobilnya dengan kencang. Seakan ingin mengenyahkan segala macam rasa tidak nyaman karena panas itu secepat kilat.

Love the Ice (Sekuel Music in Our Life)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang