Part 28

3.4K 29 0
                                    

Dia terus berjalan. Tanpa bisa benar- benar merasakan tubuhnya sendiri.  Dia bahkan tidak tahu apa yang selama ini dia tuju.  Lantas kenapa dia harus terus berjalan? Kenapa dia tidak berhenti saja sekarang? Dia sudah berjalan terlalu lama. Tanpa benar- benar tahu apa yang harus dilakukannya.

Dia ingin berhenti, tapi tak tahu bagaimana caranya berhenti. Seperti zombie yang tidak bisa mengendalikan tubuhnya sendiri. Lalu apa yang harus dilakukannya sekarang?

"Kak.."

Dia mengenali suara itu.

"Kapan bangun?"

Bangun? Sekarang dia sedang berjalan. Lalu kenapa ada yang menanyakan kapan dia akan bangun? Ini benar- benar membuatnya bingung.

"Apa kakak nggak kangen sama aku?"

Rindu? Jangan tanyakan hal itu padanya. Dia terlalu merindukan pemilik suara itu. Sekarang dia baru sadar. Dia sejak tadi terus berjalan di jalan yang tidak dia kenal sama sekali, menyusuri tiap belokan yang terhampar di hadapannya, hanya untuk menemukan satu. Pemilik suara itu.

"Aku udah kangen banget sama kakak.. Aku kangen ngeliat kakak main saxophone di aula kampus, kangen kakak teriak- teriak ngatur anak orchestra latihan, kangen semuanya.."

Ingin dia berteriak sekencang- kencangnya. Berteriak untuk memberitahukan betapa dia merindukan gadis itu. Tapi mulutnya terkunci. Dia ingin berteriak, memberitahukan betapa dia amat merindukan dan mencintai gadis itu. Tapi tak mampu.

Kemudian tiba- tiba saja kakinya berhenti berlari. Seiring dengan pemikiran yang meresap dalam kepalanya. Dia tidak bisa mendekati gadis itu. Dia tidak pantas untuk memiliki hati gadis itu. Dia tidak pantas. Dalam tubuhnya mengalir darah orang yang selama ini menjadi sumber segala macam musibah dan kepedihan yang menimpa gadis itu. Dia benar- benar tidak pantas untuk gadis itu.

Dia ingin bergerak menjauhi asal suara gadis itu. Tempat yang tadi sempat menjadi tujuannya. Tapi kakinya tak bisa dia kendalikan. Kakinya terus saja melangkah ke arah yang sama. Menyongsong mencari gadis itu.

'Jangan! Jangan ke sana! Lu nggak pantes buat dia!' batinnya menjerit.

Tangannya mengepal. Kali ini dia bisa merasakan keberadaan tangannya. Merasakan kehangatan yang nyaman di sana.

Seberkas cahaya begitu menyilaukan bersinar di depan matanya. Membuat matanya perih seperti terbakar. Sakit!

Dia bisa merasakan tubuhnya kali ini. Tapi semuanya tak bisa dia gerakkan.

'Ini.. Apa yang terjadi?'

Hangat. Rasa hangat itu menjalar menuju wajahnya. Hangat dan nyaman.

"Kakak.." Dia tersentak. Menatap semua emosi di hadapannya yang tiba- tiba saja terlihat jelas.

"Siapa.. Hhhhh.." suaranya tak keluar. Hanya gesekan udara, belum lagi masker oksigen yang bercokol tepat di depan mulutnya membuatnya makin sulit berbicara.

"Ssssttt.. Jangan banyak bicara.. Aku panggil dokter dulu.." kata gadis itu sambil berdiri dari kursi di sebelah ranjang.

"Siapa hhhh.. Kamu siapa?"

**********

Aku terus berharap kalau apa yang baru saja aku rasakan adalah nyata. Bukan fatamorgana semata. Tangan dalam genggamanku bergerak kecil. Napasnya kemudian sedikit memburu. Wajah di hadapanku kini terlihat sedikit gelisah. Apa gerangan yang terjadi? Apakah dia kesakitan?

Hei! Matanya. Matanya menggeletar pelan. Dia bergerak! Setelah berbulan- bulan akhirnya tubuhnya bergerak sendiri meski hanya gerakan- gerakan kecil yang nyaris tak kasat mata!

Love the Ice (Sekuel Music in Our Life)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang