part 38

2.7K 55 17
                                    

Allo, my lovely reader! Udah lama banget kita nggak ketemu. Sebulan lebih, betul? Sekarang diriku udah selesai UAS dan bisa kembali lagi bersama kalian! Yeeeey!

Makasih buat yang tetep setia nunggu cerita ini, buat yang tetep like, vomment juga fan-ning. Kalian membuatku terharu.. *lebaynya kumat*

Maaf banget ya uploadnya terlalu lambat.. UAS baru kelar, nak.. Koneksi internet juga mendadak musuhan sama diriku T-T

Ah, aku benci harus ngetik hal ini berkali-kali. Tapi ini resiko mahasiswa tingkat akhir. Nggak bisa seproduktif kemariiiiiiiin-kemariiiiiiin (jauuuuh banget kemarinnya) karena harus ngubek-ngubek jurnal, UP dan bikin skripsi. *langsung galau tingkat nasional*

Mikirin hal itu aja udah sukses bikin sindrom insomnia pasca-UAS-ku (please, istilah ini jangan dicari di kamus kedokteran. Nggak akan ada di sana. percaya, ana zuzur!) makin parah. Hhhhhhh.. Yasudahlah. Ini emang harus terjadi kan? Bayaran yang cukup pantas buat sebuah gelar yang nantinya akan nongkrong di belakang nama saya :p

Semoga si makhluk bernama skripsi itu bisa cepet kelar ya.. Atau minimal cerita ini yang kelar duluan sebelum aku bener-bener tenggelam di lautan jurnal-jurnal penelitian.. Doakan saya, ya! *kepal tangan*

With lots of ketjoep mesra dan bantal yang tak sempat terbelai *halaaah*,

Puji Widiastuti

+++++++++++

 

Jalanan saat senja seperti ini tidak akan lengkap tanpa adanya kata ramai. Resiko yang terlalu nyata untuk dielakkan dari manusia yang hidup di daerah dengan penduduk yang padat  adalah macet. Dan itulah realita yang kini tersaji di hadapannya. Tak memandang tempat walau jalanan yang kini tengah dilalui memiliki sebutan jalan bebas hambatan. Nyatanya tetap saja kendaraan-kendaraan yang ada bergerak merayap.

Dia meluncur secepat yang dia bisa. Walau pada akhirnya jarum speedometer tak pernah menyentuh angka 50km/jam. Sementara Hamid yang duduk di sebelahnya masih sibuk memandangi makhluk persegi yang ada di tangannya. Tak henti mengamati titik-titik yang terus bergerak dan berkedip.

"Perempatan depan, kita belok kanan."

"Forbidden."

"Hah? Oh, sorry. Maksud gue depannya lagi."

Oke, untuk orang yang telah menghabiskan lebih dari setengah waktu hidupnya di jalanan kota Jakarta dan sekitarnya, kesalahan seperti itu akan nampak aneh. Tapi mengertilah, itu bukan dikarenakan Hamid yang menderita amnesia mendadak atau kepikunan dini yang akut. Ini semua karena terlalu banyak yang dia pikirkan saat ini hingga konsentrasinya buyar.

Saat tiba di jalan tol yang mengarah ke luar kota, Nino mulai menekan pedal gas sedalam yang dia bisa. Tak peduli seberapa ramainya jalanan yang ada di hadapannya. Mungkin dia juga sudah menulikan telinganya hingga tak mendengar puluhan klakson tanda protes dari pengendara lainnya. Bahkan dia juga tak berniat –atau menahan diri- untuk mengintip apa yang sejak tadi tak henti memenjarakan pandangan Hamid.

"Ini.. Tebing damai?" Nino pada akhirnya menyerah untuk tetap melihat ke depan dan melirik ke arah tablet milik Hamid. Terlihat titik-titik merah yang berpijar dan terus berpindah dalam kecepatan yang tak bisa dibilang rendah.

Pikirannya mulai membayangkan sesuatu yang benar-benar tidak dia sukai. Dan tubuhnya bereaksi lebih cepat dari yang dia bayangkan sebelumnya. Karena dia makin menggila mengendarai mobilnya. Seperti hendak menyaingi kecepatan kedipan titik-titik merah di tablet Hamid.

"No! Nggak pake acara terlalu ngebut juga kayak begini!" tapi Nino tak mengindahkan teriakan Hamid. Matanya tetap menatap jalanan di hadapannya lengkap dengan mobil yang bertebaran dengan nyalang.

Love the Ice (Sekuel Music in Our Life)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang