Part 33

3.3K 39 10
                                    

Dia merasa kopi toraja pesanannya berubah rasa. Tidak lagi terasa nikmat seperti sebelumnya. Apa hal ini dipengaruhi oleh perasaannya yang tak kunjung membaik juga? Perlukah dia menghubungi gadis impiannya dan menanyakan keadaannya? Hanya untuk sekedar berjaga-jaga, atau sekedar menenangkan perasaan tak enak yang terus berkecamuk sejak beberapa saat lalu.

"Aku denger kakak kemarin pergi ke taman Safari.. Bener?" pertanyaan itu menghentikan gerak tangannya yang sudah ingin mengambil ponsel dalam kantung celananya.

"Denger dari siapa?"

"Nggak penting aku denger itu dari siapa." Dia merasakan perasaannya yang semakin tak enak.

"Kakak pernah minta buat aku untuk membuat kakak jatuh cinta sama aku, membuat kakak lupa sama dia. Sekarang kenapa kakak sendiri yang menghambat aku untuk mewujudkan permintaan kakak?" bibirnya beku. Dia tidak dapat berkata apa-apa. Hanya diam mencengkram cangkir kopinya. Harusnya dia tahu kalau gadis di hadapannya ini akan membicarakan hal ini.

"Bisa kita bicarakan hal ini nanti?" masih ada hal lain yang lebih krusial menurutnya daripada menghabiskan waktu untuk membahas masalah sepele seperti ini.

"Nggak bisa."

"Tapi-"

"Apa kakak berubah pikiran? Apa kakak lupa kalau Riri udah memilih kak Alex? Atau kakak mau jadi orang ketiga yang hina di hubungan mereka berdua?" Fred menundukkan pandangannya. Menatap kopinya yang hitam, sehitam pikirannya saat ini. "Atau kakak mau menarik kesempatan yang dua minggu lalu kakak berikan sama aku?"

"Gue nggak-"

"Harusnya kakak berpikir dulu sebelum memberikan harapan sama aku. Kalau hanya sebuah semu yang bisa kakak berikan, lebih baik nggak usah. Sebuah harapan yang menghancurkan hubungan yang bahkan terbina saja pun belum."

"Lea.."

"Makasih karena setidaknya kakak udah memberikan sedikit kebahagiaan buat aku." dia bisa melihat Lea bangkit dari kursinya dengan mata berkaca-kaca.

Pikirannya memutar semua yang ingin dia renungkan. Seperti sekelebatan film yang berputar dengan cepat. Menampilkan wajah Riri yang terlihat begitu kehilangan saat Alex berpura-pura amnesia, saat Alex celaka karena berusaha menyelamatkan Riri dari cengkraman Sammael, saat Alex tak kunjung sadar dari komanya. Dia merasakan kesedihan yang menyesakakkan hadir di sana. Lalu saat Alex sadar dari komanya, saat Alex sudah bisa menemaninya tiap hari, ada kebahagiaan yang membuncah di wajah gadis impiannya itu.

Sedangkan dirinya? Seperti tak berarti di mata gadis impiannya. Riri tak datang saat dia sakit, bahkan setelah dia menghubungi Riri untuk meminta bantuan. Berminggu-minggu tak berjumpa, dan reaksinya tetap saja sama. Tidak menimbulkan kelegaan dan kebahagiaan di sana. Membuat harapannya terlihat berlebihan karena menginginkan sejumput perhatian akan dilemparkan oleh gadis itu padanya. Nyatanya, tidak ada sama sekali.

Tidak, dia tidak mau lagi tersakiti seperti ini. Dia sudah terlalu lama menyimpan cintanya untuk gadis impiannya itu. Dia sudah tak sanggup lagi memikul beban yang di timbulkan oleh rasa yang telah bertransformasi serupa gunung itu di hatinya. Ah, dia lupa. Karena cintanya pada Riri, kini dia tak lagi punya hati. Hatinya telah hancur lebur.

Dia mengeluarkan dompetnya dan menaruh dua lembar uang lima puluh ribuan dan berlari keluar kedai kopi. Mengejar gadis yang baru saja melangkah keluar dari tempatnya berada. Segera dia menggenggam pergelangan tangan Lea begitu dia melihatnya.

"Lepas, kak.. Jangan beri harapan palsu yang menyakitkan untuk kedua kalinya sama aku.." gadis itu enggan menatap ke arahnya.

"Gue nggak ngasih harapan palsu ke lu."

Love the Ice (Sekuel Music in Our Life)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang