Part 25

3.4K 27 0
                                    

Dia mengusap pinggiran matanya. Menyadari kalau tetesan bening itu berasal dari sana. Merasa lebih ringan setelah memainkan lagu itu. Seperti menghilangkan beban yang selama ini menempel erat di pundaknya.

Dia berbalik dan menuruni panggung. Masih dengan air mata yang mengalir sedikit. Dia menutupinya, menunduk agar yang lain tak bisa melihat jejak air mata miliknya. Tangan kanannya memegang bagian bawah gaunnya agar tak terinjak. Sedangkan tangannya yang lain memegang saxophone miliknya.

"Whoooaa"

Heel dari stilettoyang  dia pakai terperosok ke lubang kecil di tepi tangga. Membuat keseimbangannya goyah. Dan dia tidak terjatuh.

Ada sepasang tangan yang melingkar di pinggangnya. Menjaganya agar tak menghempas ke lantai. Riri tentu saja kaget dengan hal itu. Refleks pegangan pada gaunnya terlepas dan teralih menuju tangan yang melingkari pinggangnya. Tangan lelaki. Kokoh, besar dan kuat.

Tangan itu membetulkan posisi berdiri Riri. Membantunya kembali menjejak anak tangga dengan baik. Memastikan kalau Riri takkan terjatuh lagi. Membuat detak jantung Riri berlompatan tak berirama.

"Be careful, girl. Akhir- akhir ini lu udah sering banget jatuh." bisik pria itu tepat di telinga Riri.

"Thanks." Katanya. Tanpa melihat sosok yang ada di belakangnya, Riri sudah tahu siapa pemilik tangan itu. Fred.

Mereka kembali masuk ke ruang persiapan. Mengemasi perlengkapan mereka yang masih tertinggal di sana. Bersiap pergi menuju bagian luar panaggung. Menunggu saat- saat paling menegangkan selanjutnya.

Tapi tidak dengan Riri. Dia malah langsung meluncur ke kamar mandi. Merasakan ada yang mengalir dari hidungnya.

**********

"Mana Riri?" tanya Nate pada Fred.

"Ke kamar mandi mungkin." Jawabnya singkat sambil memasukkan gitarnya ke dalam kotak penyimpanannya.

Setelah rampung, dia berganti pakaian di kamar mandi. Mengubah penampilannya yang tadi nyaris serba putih menjadi serba gelap. Dark blue jeans dan jaket kulit hitam yang pas di tubuhnya. Dia tidak turut mengganti sepatunya. Tak membawa sepatu ganti karena akan memberatkannya saja. Jadi dia masih tetap menggunakan sepatu kulit hitamnya.

Saat kembali dari kamar mandi, dia berpapasan dengan Riri yang masih sibuk menyeka hidungnya dengan tissue. Terlalu sibuk hingga tidak memperhatikan jalannya. Tapi Riri tiba- tiba berhenti saat akan menabrak Fred. Seakan dapat merasakan kehadiran seseorang di depannya.

"Lu kenapa?"

"Nggak kenapa- kenapa."

"Terus itu idung lu kenapa merah?"

"Gue tiba- tiba pilek. Bertransformasi jadi anak ingusan dalam arti kata sebenarnya dan nggak mau berenti- berenti."

"Ck, ada- ada aja ini bocah. Yang lain tadi pada nyariin lu tuh. Samperin gih."

"Iya iya.. Ini juga mau kesana."

Mereka berjalan beriringan. Menciptakan kontras yang memebetot perhatian. Seperti yin dan yang. Black and white.

"Tadi suara lu keren." Puji Fred.

"Makasih. Permainan kita bener- bener bagus tadi. Semoga hasilnya memuaskan ya.."

Mereka kembali memasuki gedung kesenian Jakarta. Berniat menyaksikan penampilan dari juara Appollo Orchestra Competition tahun lalu. Juga menanti pengumuman yang telah diputuskan dewan juri setelah penampilan itu. Riri dan Fred duduk bersampingan di kursi paling belakang. Merasa segan untuk duduk di barisan yang lebih depan meski Nita dan yang lainnya duduk di sana.

Love the Ice (Sekuel Music in Our Life)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang