Part 8

4.3K 41 7
                                    

Lagi-lagi malam hari ini dihabiskannya dengan berdiri di balkon kamarnya. Merenung sembari memandang langit yang berkelip. Memutar ulang kejadian seharian ini. Entah kenapa dia merasa ada getar-getar yang dulu sempat hadir.

"Apakah gue udah... Ah, ga mungkin.. Masa iya? Ini masih terlalu cepat.." dia mulai berbicara pada dirinya sendiri. Seperti orang tak waras saja.

"Gak mungkin, Ri.. Gak mungkin.." kini dia tengah menepuk-nepuk pelan pipinya. Seperti hendak menggugah kesadarannya.

"Kenapa gue begini sih? Ah, gue pasti udah gila gara-gara Alex.."

**********

Dia masih terjaga. Padahal mulutnya sudah terus menguap daritadi. Matanya masih menolak untuk terpejam. Memikirkan kejadian tadi siang. Dimana dia melihat wajah panic Riri yang terlihat sangat khawatir dengan keadaannya yang kesulitan bernapas. Terlihat manis sekali. Membuatnya semakin sulit bernapas karena rasa gugup yang tiba-tiba mendatangi saat melihat wajah panic gadis itu.

"Marissa.. Dibalik sikap dinginnya, ternyata dia sangat care sama orang lain.. Haaahhh.. She drives me crazy.." dia melipat tangannya yang bebas dari jarum infus ke belakang kepalanya. Memandangi satu-satunya objek yang ada di atas kepalanya. Langit-langit kamar rawat.

'tok tok tok'

Alex bangun dan terduduk. Sembari mencari tahu siapa yang mengetuk pintu kamarnya tanpa turun dari ranjangnya. Pintu kamar terbuka perlahan. Menampilkan sebuah siluet pria yang sudah cukup tua, walau masih gagah.

"Alexander.." kata pria itu sambil memandang Alex dari kejauhan.

"Ya, ada apa ya?"

"Alexander..." kata pria itu sambil terus melangkah mendekati Alex.

Alex melihat ada sorot kerinduan yang teramat sangat di mata pria itu. Tampak seperti kembali melihat seseorang yang begitu berarti baginya dan telah lama tak dijumpainya. Tapi Alex tak dapat mengenali orang itu.

"Alexander.. Kamu sudah besar sekarang.." kali ini sorot bangga mewarnai mata orang itu. Membuat Alex mengrenyit bingung. Siapa sebenarnya orang yang kini tengah meremas pelan kedua bahunya?

"Maaf, anda siapa ya?" tanya Alex ragu. Orang itu terkejut mendengar pertanyaan Alex.

"Kamu tidak mengenaliku?" Alex menggeleng menjawabnya. Tangan pria itu seketika terlepas, melemas di samping tubuhnya. Tanpa kata dia pergi meninggalkan Alex. Tak memperdulikan tatapan heran dari Alex. Merasakan sakit di hatinya karena dilupakan. Pria itu terus berjalan gontai. Pergi meninggalkan rumah sakit tempat Alex dirawat.

"Kamu lupa.. Melupakan aku.. Padahal kesempatan untuk menemuimu sudah lama ku tunggu.. Tapi kamu malah melupakan aku.." katanya meracau sendiri.

Dia terduduk di atas trotoar. Merasakan lemas di kakinya karena rasa sakit yang menyengat hatinya. Dia menopang kepalanya yang seperti tak mampu ditegakkan lagi. Meresapi sakit yang baru kali ini dia rasakan.

**********

"Ya.. Halo, kak.." jawabnya sambil memegang handphonenya menggunakan dagu dan bahunya.

"Kamu sakit tadi?"

"Nggak.. Kenapa gitu?"

"Aku kira Riri, Nita sama Billy pergi ke rumah sakit karena nganterin kamu.."

"Eh, darimana kakak tahu kalau mereka ke rumah sakit?" tanya Nate kaget. Hampir saja handphonenya jatuh.

Sepertinya dia harus diperkenalkan dengan teknologi headset yang akan menjaga keselamatan lehernya dari cedera karena terus-menerus menekuk bersatu dengan dagu untuk memegang handphone. Juga untuk keselamatan handphonenya dari kerusakan karena terjatuh jika tak sengaja terlepas dan jatuh mencium lantai.

Love the Ice (Sekuel Music in Our Life)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang