Part 12

3.8K 32 2
                                    

"Kenapa anda baik kepada kami?"

"Karena saya ingin seperti dirinya.." kataku sambil tersenyum. Menerawang ke langit-langit bilik yang ditutupi triplek lusuh yang lapisannya kayunya sudah melambai-lambai. Berhiaskan sarang laba-laba dan jamur dari jejak air hujan yang lembab.

"Dirinya?"

"Mendiang kakak saya. Yang tak ragu berbuat baik pada orang yang memerlukannya. Yang tak pernah melihat masa lalu orang yang di tolongnya."

"Mario.."

"Bapak kenal kak Rio?" aku melihat dirinya seperti tergagap. Gugup karena sesuatu.

Dan sebelum bapak itu sempat berbicara, terdengar ketukan dari luar. Dia membukakan pintu dan tampaklah kak Hamid serta kak Nino.

"Riri.. Kenapa bisa begini?" tanya kak Nino panic.

"Aku lalai bawa mobilnya.. Dan hampir aja nabrak Nina.. Tapi untungnya kita nggak kenapa-kenapa.." kak Nino menghela napas penuh kelegaan mendengar penuturanku.

Lalu kak Nino pergi ke luar. Beberapa saat kemudian, dia kembali dengan kotak p3k di tangannya. Memeriksa luka di keningku dan mengobatinya. Juga membersihkan luka goresan aspal di siku Nina.

Terbersit ide dalam benakku. Kenapa mereka tak ku minta untuk tinggal di rumah papa saja? Two in one. Mereka mendapat tempat tinggal yang lebih layak. Dan ada orang yang akan menjaga rumah papa selain pekerja yang ada di sana. Ah, kau memang jenius, Ri!

"Pak Galih sama Nina tinggal di rumah saya aja. Kebetulan rumah saya kosong." Dan aku melihat semua orang yang ada di dalam bilik terkejut mendengar penuturanku. Memangnya ada yang salah?

"Makasih, Non.. Tapi kami lebih nyaman tinggal di sini.."

"Ayolah, Pak.. Biar Nina nanti lebih dekat ke sekolahnya.. Anggap saja ini balasan karena bapak telah menolong saya dengan tidak membiarkan saya tergeletak begitu saja di jalanan.."

"Tapi.."

"Dan saya tidak menerima penolakan.. Yayayaya..."

Dan sepertinya aku belum kehilangan kemampuan membujukku. Terbukti dengan pak Galih dan Nina yang menyetujui untuk pindah ke rumah papa. Yah setidaknya kini aku sudah bisa sedikit meniru sifat kak Rio dan yang lainnya setelah beberapa tahun tinggal bersama. Itu bagus kan?

**********

Dia diam di dalam kamarnya yang tidak bisa dibilang luas. Hanya diam. Memandangi handphonenya. Merasakan rindu yang termat sangat menggelayuti tubuhnya. Beberapa bulan ini mereka tak lagi sering bertemu. Tak seperti di awal-awal. Makan siang bersama, kadang bersua saat akan pulang. Dan sekarang dia hanya bisa menyaksikan dirinya memfokuskan perhatian pada yang lain.

Jemarinya mengusap lembut layar handphonenya. Bertingkah seperti jika dia membelai tiap lekuk wajah yang terpampang di sana, yang bersangkutan juga akan merasakannya.

'I miss my ice-man..' batinnya lirih.

**********

"Apa kita akan terus seperti ini? Aku tahu aku salah. Tapi apa tak ada lagi pintu maaf untukku?" dia meracau sendiri, terduduk di jendela besar kamarnya. Entah bertanya pada langit, bintang atau angin.

Dia terduduk meringkuk memeluk lututnya. Membenamkan kepalanya di lipatan tangannya. Kenapa rasanya sesak begini? Hampa. Seperti kehilangan orientasi.

"Den, Aden sakit?"  tapi Billy tak bergeming. Tetap menumpukan dagunya di atas lipatan tangan dan lututnya.

"Den Billy, kalau sakit rindu, datengin non Nita aja.. Makin lama di biarin, makin sakit lho nanti.." terdengar Billy yang mendesah berat. Seandainya saja bisa semudah itu dia pasti sudah melakukannya sejak tadi. Tapi ini tidak.

Love the Ice (Sekuel Music in Our Life)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang