Part 14

3.9K 30 0
                                    

Dia membuka matanya. Merasakan ponsel di kantungnya bergetar. Dan dia kaget. Gelap. Hanya ada berkas-berkas sinar lampu kendaraan yang lalu lalang di sekitarnya.

"Halo?"

"Lu dimana, Ri? Dari tadi gue ngehubungin lu kenapa nggak diangkat?"

"Emmm.. Nggak kedengeran.."

"Yaudah, lu dimana?"

"Lagi di jalan mau ke rumah sakit.." kilahnya sambil menyalakan mesin mobil. Biar bagaimanapun dia sudah terlalu lama diam di sini (walau dalam keadaan tidak sadar).

"Daritadi lu ngapain aja? Gue bingung nyariin lu dimana. Al-"

"Kak." Potong Riri. Dia masih belum ingin mendengar namanya.

"Hmmh?"

"Bisa jangan ngomongin orang itu sekarang?"

"Tapi-"

"Sekarang gue mau masuk jalan tol.  Bentar lagi juga gue nyampe sana. Bye." Katanya memutuskan sambungan telepon tanpa memberikan Fred kesempatan untuk membalas salam perpisahannya.

Saat dia melihat kotak masuk dalam ponselnya, dia kaget (lagi!). Dia ingin menanyakan kebenarannya, tapi saat ini dia sudah memasuki jalan tol. Dan dia tidak ingin menghilangkan kebiasaannya untuk tidak menerim atau membuat panggilan selama berkendara di jalan tol. Apalagi saat hari telah gelap seperti ini.

'Semoga semuanya udah berlalu begitu gue tiba di sana..'

**********

Dia masih memikirkan kelakuannya sepanjang sore ini. Dia pun sampai bingung. Kenapa dia bisa sampai sebegini menyebalkannya.

"Profesional dong, Ri.. Dua minggu lagi babak penyisihan.. Lu nggak bisa bolos-bolos latihan dengan alasan ngejagain Billy di rumah sakit.."

"Ya, lumayan. Dan lu harus on time! Gue males nunggu orang yang telat terus dari kemarin!"

Tuhan! Kenapa kata-kata yang amat teramat sangat mengesalkan dan keras seperti itu bisa keluar dari mulutnya?

"Tutup mulut lu!"

"Lu bilang tadi gue nggak professional. NGACA DULU SANA! Lu tahu? YANG NGGAK PROFESSIONAL ITU LU! BUKAN GUE! Lu seenaknya aja ngubah-ngubah jadwal latihan tanpa persetujuan semua pihak. Jangan mentang-mentang lu ketua orchestra terus lu bisa berlaku SEENAK JIDAT LU, PAK KETUA ALEXANDER! Mana ada ketua organisasi yang berbuat semaunya tanpa mikirin keadaan anggotanya! KETUA MACAM APA ITU?!"

Dan sekarang dia jadi ngerasa bersalah setelah mendengar raungan amarah dari Riri. Kenapa dia dengan bodohnya melakukan hal itu?

Ah! Kenapa pula dia bisa lepas kendali seperti itu? Kenapa dia bisa bertindak seperti orang yang baru kali ini memegang jabatan ketua dengan tidak berusaha berkepala dingin? Kenapa dia bisa panic seperti itu? Kenapa dia masih belum terbiasa menghadapi tekanan menjadi seorang ketua seperti ini?!

Setengah frustasi dia mengacak rambutnya yang memang sudah acak-acakan. Membuatnya makin terlihat semrawut.

'Gue harus secepat mungkin minta maaf sama dia.. Gila! Cowok macam apa gue ini? Kenapa bisa-bisanya ngelampiasin semua tekanan gila yang gue rasain ke seorang cewek?'

**********

Aku mengenali sosok yang kini ada di depan pintu rumah sakit. Ya! Aku mengenali orang itu. Posturnya sudah aku kenal setelah beberapa tahun bersama.

"Kak, ngapain di luar? Kenapa nggak masuk?"

"Gue nggak suka rumah sakit, Ri." Aku melihat dia memutar matanya. Seakan mempertanyakan keberadaan pikiran di dalam kepalaku.

Love the Ice (Sekuel Music in Our Life)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang