part 6

4.5K 38 2
                                    

Aku duduk di bawah pohon kelapa yang berjajar rapi di tepi pantai. Menekuk lututku dan menonton pertandingan voli yang tersaji di hadapanku. Antara team kak Nino dengan team kak Fred. Sejauh ini team kak Nino unggul beberapa poin dari team kak Fred. Dan aku baru tahu kalau kak Nino itu hebat juga dalam olahraga voli.

Ah, dia terlihat selalu hebat dalam hal apapun. Di bidang akademik, olahraga, music, bahkan bisnis. Dia sosok anak yang pasti di idam-idamkan oleh semua orang tua. Baik, pandai, patuh, penyayang, seperti tak ada sifat buruk yang menempel padanya. Bahkan pada awalnya aku merasa dia seperti malaikat yang mungkin terpeleset jatuh dari surga. Dulu aku bertanya-tanya, adakah orang yang seperti itu, yang sungguh mendekati sempurna. Dan kini aku menemukan contoh nyatanya dalam kehidupanku sendiri. Ya kak Nino itu.

Dan dia seperti duplikat dari Ayah dan Ibu. Semuanya memiliki sifat yang serupa. Membuatku tak heran darimana asal muasal datangnya semua sifat-sifat yang indah itu. Aku juga takkan heran kalau kak Rio memiliki sifat yang sama. Karena memang dia hidup dengan mereka semenjak kecil. Sejak dia ditemukan menangis sendirian di tepi jalan Den Haag.

Aku bingung saat mendapati Nate yang memandang ngeri ke arahku. Kejadiannya terjadi dengan sangat cepat. Aku mendengar dia meneriakkan sesuatu sambil merentangkan tangannya kearahku, seperti hendak menarikku dari tempatku berada.

Lalu tiba-tiba saja badanku condong kebelakang hingga bisa kurasakan punggungku yang menyentuh batang pohon kelapa. Dan tanganku telah terangkat menengadah.

'buukkk'

Aku masih tak tahu apa yang terjadi sampai mereka semua datang mendekatiku dan mengangkat sesuatu dari tadahan telapak tanganku. Sedangkan aku, masih menatap ke kanan dan ke kiri mencaritahu apa yang terjadi di tengah kebingungan yang aku alami.

"Kamu nggak kenapa-kenapa, Ri?" tanya kak Nino.

"Hah?"

"Tangannya sakit nggak? Ada yang keseleo?" tanyanya lagi sambil sIbuk memeriksa telapak tanganku. Dan saat melihat telapak tanganku yang memerah, rasa sakit baru datang menyambangi. Membuatku tak kuasa untuk meringis. Dan aku baru menyadari semuanya. Kepalaku hampir tertimpa kelapa yang terjatuh jika saja tubuhku tak condong ke belakang dan kedua tanganku tak menangkap kelapa itu tepat waktu. Dan akibatnya kini jahitan di tangan kananku berdenyut sakit.

"Ayo kedalam, kakak periksa dulu jahitannya.. Takut kebuka.." katanya sambil mengangkat tubuhku dari pasir.

"Nggak kenapa-kenapa kok, kak.. Nggak ada darah yang rembes.. Jadi jahitannya baik-baik aja.." Tapi dia tetap saja memboyongku ke dalam cottage. Sesampainya di dalam, dia segera mengambil kotak kesehatan yang tak pernah lupa dia bawa.

Perlahan sekali dia membuka perban yang membebat tanganku. Dan aku bersyukur saat jahitan yang ada terlihat baik-baik saja. Hanya sedikit memerah karena tertimpa kelapa yang (lumayan) berat. Dengan telaten dia membersihkan bekas jahitanku dan kembali membebatnya dengan perban yang baru.

"Kak, tahu nggak?"

"hmmmh?" jawabnya tanpa mengalihkan wajahnya dari tanganku.

"Kayaknya minum es kelapa muda enak deh.." dia tersenyum mendengarnya. Menahan tawanya, sedikit.

"Kenapa?"

"Nggak kenapa-kenapa.. Lucu aja ngedenger kamu mau minum es kelapa muda setelah tangan kamu ketimpa kelapa tadi.. Sounds like you want to take a revenge.. Hahaha.."

"Ah, kakak.."

"Selesai! Sekarang ayo kita cari kelapa muda.." katanya sambil membereskan peralatannya. Aku tersenyum dan bangkit. Sedikit sempoyongan karena kakiku yang memang masih sedikit sakit saat menapak. Tapi aku tak mau lagi di gendong-gendong. Aku bukan bayi yang masih tak becus berjalan sendiri.

Love the Ice (Sekuel Music in Our Life)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang