Part 26

3.4K 26 0
                                    

Aku menghempaskan tubuhku yang terasa amat lelah ke atas sofa dekat ruang makan. Seharian menangani dua operasi yang memakan waktu dan tenaga. Dan aku masih belum bisa bersantai. Aku masih harus memasak untuk makan malam. Mbok Rum telah kembali ke kampung halamannya. Katanya ingin menemani cucunya. Dan untuk mencari pengurus rumah seperti mbok Rum itu sangat sulit. Jadi yang tersisa di sini hanya ada aku, Riri, pak Oni, pak Jono dan pak Sapto saja. Sementara untuk membersihkan rumah, Riri meminta pengurus rumah papanya untuk kemari setiap hari di siang hari.

"Apa pesen makanan di luar aja ya?"

"Tapi yang enak adanya jauh semua.." kataku sendiri.

"Delivery fast food? Nggak deh.. Kemarin lusa udah makan fast food.."

Akhirnya aku memutuskan untuk menyeduh segelas susu saja. Susu cokelat panas dengan sepotong roti cokelat hitam buatan Riri yang masih tersisa. Semoga cukup untuk meredam geliat perut yang sejak tadi sudah mengadakan konser heavy metal karena melewatkan jam makan siang. Semoga.

'tok tok tok'

Aku segera menghentikan tanganku yang sudah menyorongkan segelas susu ke mulutku. Dengan tangan yang masih menggenggam segalas susu, aku melangkah ke depan. Melihat siapa yang mengetuk pintu jam segini. Yang pasti itu bukan Riri. Karena dia selalu membawa kunci dan langsung saja masuk ke rumah tanpa mengetuk dulu. Paling dia langsung teriak- teriak memanggil siapapun yang kira- kira ada di rumah.

"Kami dataaaang!"

Hah? Beneran nih? Nggak salah lihat gara- gara kelaperan kan? Ayah sama Ibu ada di depan rumah, bawa koper pakaian berukuran super sampai supir taksi yang ada di belakangnya ngos- ngosan. Berat membawa koper pakaian itu sepertinya.

"Makasih ya, mas.." kata Ibu pada supir taksi itu dan memberikan beberapa lembar uang lima puluh rIbuan. Sementara Ayah sudah menyeret koper itu ke dalam rumah. Dan aku masih diam di dekat pintu.

"Nino.. Sini, sayang.. Ngapain kamu di depan pintu? Mau jadi patung selamat datang?" kata Ibu yang tiba- tiba saja sudah duduk di sebelah Ayah. Ada di dalam rangkulan Ayah. Kapan Ibu masuk ke rumah? Kenapa aku tidak melihatnya?

"Hah? Ayah sama Ibu pulang ke sini?"

"Iyalah.. Kalau nggak, terus siapa yang lagi duduk di sini?" jawab Ayah. Oke, ini efek kelaparan dan terlalu kaget. Bodoh mendadak.

"Kenapa nggak bilang? Nanti kan bisa Nino jemput ke bandara.." kataku sambil berjalan ke arah mereka. Mendudukkan tubuhku di sofa single di sebelah mereka.

"Kamu kan sibuk, No.. Eh, anak Ibu yang paling cantik mana nih?"

"Belum pulang.. Dia tadi abis lomba di Gedung Kesenian Jakarta terus ke rumah sakit nengokin Alex.." jawabku sebelum menyeruput susu cokelatku. "Tunggu, Nino mau telepon Riri dulu.."

Aku merogoh ponsel yang dari tadi masih bersarang mesra di kantong celanaku. Menghubungi Riri, memberitahukan kalau Ayah dan Ibu pulang hari ini. Memintanya agar cepat pulang karena sudah terlalu larut malam.

"Nengok Alex? Emang Alex kenapa?" tanya Ibu sesaat setelah aku selesai bicara pada Riri.

"Ayah belum ngasih tahu Ibu?" Ibu menggeleng mendengarnya.

Akhirnya aku menceritakan semuanya pada mereka. Karena Ayah juga belum tahu bagaimana kejadian yang kemarin sempat membuat kami semua ketar- ketir.

"Kira- kira sebulan yang lalu.." aku mulai menceritakan semuanya pada mereka.

Tak terhitung berapa kali Ibu terkesiap saat mendengar ceritaku. Mengetahui kalau putri kesayangannya hampir saja mati di ujung peluru Sammael, orang yang sama yang menyebabkan kematian Rio beberapa tahun lalu. Matanya berkaca- kaca. Membayangkan tiap kalimat yang dia dengar, membayangkan betapa mengerikan kejadian yang terjadi sebulan yang lalu. Ibu memang sensitif dengan masalah seperti ini. Terlalu sensitif.

Love the Ice (Sekuel Music in Our Life)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang