Part 39

3.3K 44 17
                                    

Apa kabar readers-ku yang baik hatinya, yang baik budi pekertinya, yang rajin menabung, menyiram tanaman dan embel-embel lainnya? :P Selalu mau ngucapin terima kasih buat yang udah ngirimin jempol, vomment dan fan sign. Kecup mesrah nan basah untuk kalian! *dilempar perahu karet*

Maaf (selalu) telat upload ceritanya. Sampe ada yang protes keras juga *nangis dipojokan*. Bukannya sengaja, tapi liburan begini nggak tahu kenapa bikin saya nggak bisa sesering biasanya nyentuh laptop. Ada aja urusannya. Belum lagi, sekarang, kalau udah tiba saatnya kontrol ke dokter. Ck, nggak oke banget deh liburan kali ini. Rempong, cyiiin!

Bukannya bermaksud nggak bertanggung jawab sama tulisan sendiri dengan jadwal upload yang sesuka hati. Tapi konsentrasi yang terlalu sering terpecah bikin penyelesaian cerita ini nggak bisa seteratur yang dikehendaki. Apalagi saya itu orangnya terlalu tergantung sama mood. Meski ada yang bilang "penulis itu nggak bisa selalu tergantung sama mood", tapi tetep aja nggak bisa dilaksanain. Belum berpengalaman. Maklum, amateur. T-T

Jadi, sekali lagi maafkan saya *big bow*

Dan buat seseorang yang minta penjelasan tentang sesuatu dari MiOL, maafkan saya. Imajinasi lagi mengalami penyusutan. Nggak bisa ngasih tahu dengan jalan yang lebih oke lagi daripada yang ini.

Oke, saya kebanyakan bacot. Selamat menikmati!

With lot of ketjoep mesra dan beberapa botol obat,

Puji Widiastuti

+++++++++++++

Dia berlari menuju bagian bawah rumahnya. Menuruni tangga dengan demikian tak sabarnya, hingga nyaris terjungkal berkali-kali.

"Riri.. Ayah.. Ibu.. Yeeey!"

"Kenapa, kak? Seneng banget kayaknya." Tanya sang adik dengan teriakan yang tak kalah keras.

Tak menjawab pertanyaan yang tadi sempat terlontarkan untuknya. Dia malah merengkuh tubuh gadis di hadapannya dan memeluknya erat.  Berputar-putar dengan kencang. Membuahkan pekik ngeri dari bibir gadis itu.

"Ada apa, No?" tanya ayah yang baru saja tiba di dekat tangga. Dia kemudian membebaskan Riri dari pelukan berputarnya. Keduanya sama-sama sempoyongan karena pusing setelah berputar-putar seperti itu. Dia bahkan sampai jatuh dan terantuk tiang yang ada di sisi tangga rumahnya.

"Ya ampun.. Hati-hati dong.. Kamu nggak kenapa-kenapa kan?" tanya ibu sambil membantunya berdiri.

"Hahaha.. Nino nggak kenapa-kenapa kok, bu.."

"Jadi, ada apa ini?" ibu makin penasaran saja. Apa yang bisa menyebabkan putranya ini histeris kesenangan seperti itu.

"Nino berhasil, Yah, Bu.. Kita masih punya harapan! Oh, thanks God!"

"Harapan? Harapan apa? Ayah nggak ngerti deh.."

"Kak, ngomongnya yang jelas. Jangan kayak orang kesambet setan begitu."

Dia berusaha untuk menghentikan segala macam bentuk kesenangan berlebih yang akan merusak kesempatannya untuk memberikan kabar yang sangat dia tunggu-tunggu keberadaannya.

"Nino udah berhasil nemuin pengobatan buat Riri. Riri masih bisa sembuh, Yah, Bu.. Riri masih bisa sembuh.." Dia melihat ayah dan ibunya yang terkejut setelah mendengar apa yang baru saja dia teriakkan dengan lantang. Terlebih Riri yang hanya bisa terdiam memandangnya dengan mata yang membulat kaget.

Kedua tanganya dia letakkan di atas bahu Riri. Memandang adiknya dengan segenap kesungguhan jiwa yang dia miliki.

"Kamu masih bisa sembuh, Ri.. Kakak udah nemuin pengobatannya.." katanya lembut.

Love the Ice (Sekuel Music in Our Life)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang