Part 23

3.5K 31 2
                                    

Dua pasang mata itu membelalak melihat adegan yang tersaji di hadapannya. Melihat orang yang mereka kenal dengan baik dan mereka sayangi dengan segenap hati, berlumur darah bukanlah sebuah pemandangan yang ingin mereka saksikan saat ini. Terlebih saat mengetahui kalau nyawa orang itu juga terancam bahaya.

Riri terpojok. Hanya beberapa meter jaraknya dari kaca yang jika saja pecah akan membuat tubuhnya yang telah begitu lemah, terjun bebas ke luar gedung. Dan dia tak bisa bergerak maju. Di depannya ada Sammael yang masih saja menodongkan QSW-06 berperedam suara. Hanya tinggal menunggu waktu sampai dia meletuskannya begitu saja ke tubuh Riri yang lain. Dan mereka yakin kali ini Sammael akan mengarahkannya ke tempat yang sangat vital.

Riri bergeser, terus mundur ke belakang sebelum akhirnya tersimpuh. Tak mampu menahan tubuhnya yang sudah sedemikian sakit.

Sammael tersenyum kesenangan. Keinginannya untuk membalaskan kematian Kenneth akan segera terlaksana. Saat Riri mati tertembus peluru yang berasal dari senjatanya, dia akan merasa lega, puas. Rasa sakit hatinya karena kehilangan Kenneth akan terbalaskan.

"Hahahaha.. Sepertinya semuanya akan berakhir sampai di sini.."  katanya sambil menarik hammer dengan ibu jarinya.

Riri menutup matanya. Pasrah dengan apa yang akan terjadi padanya. Memikirkan kematiannya yang sudah berdiri manis di balik tubuh Sammael. Menungu nyawanya melayang dilepaskan oleh peluru yang dimuntahkan dari senjata Sammael.

'Sorry gue nggak bisa terus sama- sama kalian untuk kedepannya.. Cuma ini yang bisa gue lakuin buat ngebebasin kalian dari Sammael.. Sorry..' batinnya pasrah.

"You lose.." telunjuknya perlahan menarik pelatuk. Seperti hendak menikmati detik- detik penghabisan nyawa orang yang telah membuatnya kehilangan Kenneth, anaknya. Menikmati detik- detik pencapaian kemenangannya yang manis dan berlumur darah.

Riri bersiap menerima kembali lontaran timah panas yang akan bersarang di tubuhnya. yang akan membuatnya kembali kesakitan.

'Pshiuuu'

Dia tak merasakan sakit bertambah ke tubuhnya. Membuatnya berpikir mungkin dia telah mati seketika setelah Sammael menembaknya. Mungkin tepat di jantung hingga langsung berhenti berdetak dan mati. Tapi kemudian dia bertanya- tanya. Kenapa dia masih bisa mendengar suara- suara di sekitarnya. Kenapa dia masih merasakan sakit yang menggigit- gigit tubuhnya? Apa kematian tidak membebaskannya dari segala kesakitan ini? Kenapa belum juga dia jumpai sesosok yang menyerupai malaikan Tuhan menjemputnya pergi?

***********

Aku membuka mataku. Berpikir mungkin sang malaikat pencabut nyawa akan terlihat jelas saat kedua mataku terbuka lebar.

Dan saat aku membuka kedua mataku, aku memang melihat sesosok orang yang berdiri di hadapanku. Membelakangiku.

Mungkinkah dia malaikat yang dititahkan Tuhan untuk mencabut nyawanya?

Tapi ada yang aneh. Sejak kapan malaikan pencabut nyawa memakai blue jeans dan memakai sepatu kets?

Kenapa pula dia bergulat melawan Sammael dan bukannya mencabut nyawaku agar tugasnya cepat selesai?

Ah, darah yang telah banyak keluar dari tubuhku ternyata juga membawa keluar intelegensiku dari otak ini. Tentu saja dia bukan malaikat. Dia orang yang ingin melindungiku. Tapi dia bukan Lion atau Cheetah. Bukan juga Shark, Whale, dan yang lainnya. Lalu siapa dia? Aku kenal postur itu. Tapi aku tak bisa menyebutkan namanya. Pikiran di kepala ini terlalu berbelit, database otakku error karena rasa sakit ini.

Aku tahu aku harusnya segera pergi dari tempat ini. Membebaskan belenggu dari Nate dan kak Hamid yang masih saja menatapku dengan mata terbelalak. Atau minimal menjauh dari tempat itu agar tak mengganggu dia yang ingin melindungiku. Tapi aku tak mampu bergerak lagi. Rasanya terlalu sakit. Bahkan untuk bernapas pun rasanya hampir tak sanggup.

Love the Ice (Sekuel Music in Our Life)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang