Part 19

3.9K 30 2
                                    

Dia menatap gadis yang tertidur di sebelahnya. Terlihat begitu damai. Napasnya teratur. Seperti mantra yang menghipnotisnya untuk terus melihatnya seperti itu. Dan kesedihan yang biasanya membayang di sana, sirna saat ini. Digantikan dengan wajah yang polos menggemaskan.

Dia membuka pintu mobilnya dan beralih ke pintu penumpang di samping supir. Dia membukanya. Menundukkan tubuhnya dan melepaskan sabuk pengaman yang melintang di atas tubuh gadis itu. Gadis itu tidak terbangun dari tidurnya. Sebuah reaksi yang melenceng jauh dari dugaannya.

Tapi dia tak mau memikirkan hal itu. Dia membopong gadis itu ke dalam rumah. Membuka pintu rumah dengan susah payah karena kedua tangannya sedang sibuk menahan bobot –tak-seberapa- tubuh gadis itu.

"Darimana aja kalian?"

"Main. Ice skating."

"Terus Riri kenapa?"

"Ketiduran. Cape mungkin."

"Lu sekarang harus ekstra hati- hati. Maksud gue, kita semua harus ekstra hati- hati." Kata Hamid pelan.

"Maksud lu apaan, Mid?"

"Surat dari Sammael datang lagi. Dan gue rasa kali ini dia mau bikin sesuatu yang besar. Kayak yang terakhir waktu itu." Suaranya makin pelan. Tak ingin Riri yang masih berada di atas kedua tangan Fred mendengar jelas pembicaraan mereka walau dalam tidurnya.

Tanpa harus berpikir dua kali, dia telah tahu apa maksud dari perkataan Hamid barusan. Sammael akan berusaha melukai bahkan membunuh Riri, dan juga besar kemungkinan dia akan mencoba untuk melukai orang- orang yang dekat dengan Riri. Menuntaskan hasrat balas dendam yang akar permasalahan sebenarnya berasal dari dirinya sendiri.

"Lu taro Riri di kamarnya. Gue mau ngasih sesuatu ke lu." Pinta Hamid. Fred mengangguk dan mulai melangkah menaiki tangga besar melingkar menuju kamar Riri.

"Baru pulang?" tanya Nino. Fred hanya mengangguk.

Nino yang melihat Fred kesusahan membuka pintu kamar Riri, membukakan pintunya untuk mereka. Dia juga menyingkap selimut yang ada di atas ranjang Riri dan merapikannya. Dia memberikan kecupan sebelum tidur di dahi Riri. Kebiasaan yang mulai hadir entah sejak kapan. Dia pun tak tahu.

"Ayo turun. Katanya Hamid mau ngasih kita sesuatu." Ajak Nino. Mengiringi Fred untuk melangkah meninggalkan kamar Riri. Menutup pintunya dengan pelan agar Riri tak terlempar keluar dari dunia mimpinya.

Mereka berjalan beriringan dengan cepat. Seakan tak sabar menerima 'bingkisan' dari Hamid. Penasaran apa sebenarnya isi dari 'bingkisan' itu hingga Hamid memintanya untuk tetap menunggunya di rumah. Memundurkan jadwal praktiknya di rumah sakit.

Sesampainya di hadapan Hamid, mereka melihat dia yang tengah memegang dua buah kotak. Tidak terlalu besar. Yang satu berwarna hitam, dan yang satu lagi berwarna hijau army. Hamid menyerahkan kotak berwarna hitam pada Fred. Dan hijau army pada Nino.

"Ini harus kalian pake. Selalu. Pesenan Riri."

Hamid dan Nino saling pandang. Tanpa aba- aba mereka membuka kotak itu bersamaan. Dan mengrenyitkan dahi mereka serempak. Jam tangan? Hamid berlagak sok misterius seperti itu hanya untuk memberikan sebuah jam tangan?! Ha! Lucu sekali.

Sebuah jam tangan analog stainless steel yang terasa ringan untuk Nino. Mempunyai bentuk dan 'rasa' yang sama seperti jam tangan yang selama ini selalu dikenakan olehnya. Sementara untuk Fred, sebuah jam digital berwarna hitam yang seperti menjadi belang di kulitnya yang kecoklatan.

"Di dalamnya udah di kasih alat pemancar. Kalau kalian lagi dalam keadaan kepepet, lu tekan tombol di samping itu dua kali. Bantuan akan datang secepat yang mereka bisa."

Love the Ice (Sekuel Music in Our Life)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang