Part 3

5K 52 5
                                    

Aku melangkah tergesa meninggalkan aula. Hatiku kembali berdarah-darah. Aku masih belum menemukan cara untuk mengikhlaskan kak Rio sepenuhnya. Hingga segala sesuatu yang berhubungan denganya akan menohok  perasaanku begitu kencangnya. Sialnya adalah, hal itu akan mengundang air mataku berderai.

Dan aku benci menangis. Aku benci menjadi lemah seperti itu. Aku harus berusaha menjadi wanita yang kuat dan tegar.

Menangis hanya akan membuat semuanya jadi makin mellow, suram. Takkan menyelesaikan segala rasa sakit ini. Hanya akan membuatku lelah karena terus terisak. Hanya akan membuat mataku bengkak sebesar bakpau dan tampil mengenaskan. Tidak. Kutahan terus air mata yang masih berusaha menjebol pertahananku.

Aku terus berjalan hingga merasa kakiku mulai goyah dan jatuh terduduk begitu saja di atas bangku taman. Ku hirup udara sebanyak yang ku mampu. Menghembuskannya lambat-lambat. Memaksa air mata ini menguap secepatnya.

Tanganku menggenggam erat loket pemberian kak Rio. Hanya menggenggam, tak membukanya. Sangsi kalau diriku masih bisa menahan air mata ini agar tak terjun bebas saat melihat wajah kak Rio yang ceria di sini.

'Maaf gue masih nggak bisa main seperti dulu, kak.. Maaf.. Bukannya gue nggak mau mainin simfoni itu lagi.. Tapi gue masih membutuhkan waktu untuk bisa bernapas tanpa lu.. Rasanya terlalu sulit untuk terus berjalan menapaki kehidupan.. Gue tahu itu terdengar berlebihan,, tapi ini benar, kak.. Hidup terasa terlalu berbeda tanpa kehadiran lu.. Mungkin lu bisa memberitahu gue bagaimana cara untuk dapat bertahan di sini tanpa lu, kak..' batinku merintih. Membiarkan rasa sesak menemaniku sendiri.

"There you are." Kata seseorang mengagetkanku. Tanpa izin dia duduk begitu saja di sebelahku. Dan aku dapat segera mengetahui siapa orang itu. Siapa lagi yang akan bersuara sedatar itu selain kak Fred.

"Cry if you want to cry.." katanya. Matanya masih menatap lurus kedepan. Seolah semakin dia focus melihat ke depan, dia dapat menyingkap kegelapan yang ada di sana.

Tidak, aku tidak ingin menangis. Aku hanya ingin menenangkan diriku. Mengenyahkan rasa sesak dan sakit ini dari dadaku.

Sepertinya dia tahu apa yang ku inginkan. Aku jadi tak perlu repot-repot mengatakannya. Aku yakin setelah lama mengenalku, dia akan tahu apa yang ku inginkan. Lama kubiarkan angin malam mengisi kekosongan percakapan antara aku dan kak Fred.

"You're a nyctophobia1, right?" aku mengangguk.

"Lalu kenapa berhenti di tempat gelap?" sambungnya. Aku mengrenyitkan dahi. Mencerna apa yang,, Astaga!

Aku tersentak dan tersadar. Aku duduk di bangku taman yang tak dilengkapi penerangan sedikitpun. Jantungku seketika berdegup kencang. Kedua tanganku basah oleh keringat. Tubuhku mulai gemetar. Aku seperti kehilangan control atas tubuhku sendiri.

Tidak! Aku harus melawannya.

Aku langsung berdiri. Dan mulai berusaha menggerakkan kakiku untuk menjauhi tempat itu. Rasanya sulit sekali. Aku tak peduli seberapa anehnya caraku berjalan saat ini. Yang penting aku harus segera pergi menemukan cahaya. Aku bahkan tak mempedulikan kak Fred yang masih terduduk dan –mungkin- memandangiku. Mengamati caraku pergi dari ketakutan ini.

Mataku mulai berkunang-kunang. Dan aku kembali berteriak pada diriku sendiri untuk bertahan. Berhenti membuat orang lain khawatir. Berhenti menyusahkan orang lain untuk merawatku.

Aku sampai di sisi lain dari aula yang terang benderang. Aku berhenti melangkah. Merasakan kakiku yang melemah dan tak mampu lagi menopang tubuhku. Membiarkan tubuhku terjatuh begitu saja, menghempas ke lantai. Cukup sakit. Tapi itu lebih menyenangkan daripada harus terkurung gelap. Setengah hatiku merutuk. Memaki diriku sendiri. Kenapa aku begitu bodoh sampai memilih tempat seperti itu untuk berhenti? Kenapa aku tak segera menyadari kebodohanku karena memilih tempat itu. Kebodohan kuadrat malam ini.

Love the Ice (Sekuel Music in Our Life)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang