Part 32

3.7K 33 7
                                    

"Ri, gue mau ngomong sesuatu deh sama lu."

"Ngomong di sini aja." Kata Alex yang ada di sebelahnya.

"Ri, bisa kita ngomong berdua aja? Ini penting banget." Kata Hamid lagi.

"Segitu pentingnya ya sampe gue juga nggak boleh tahu?" Nada suara Alex mulai terdengar tidak bersahabat sama sekali.

"Gue Cuma PINJEM dia dari SEBELAH lu lima belas menit." Kesal Hamid.

"Kak, udahlah.. Aku pergi sebentar.." kata Riri pada akhirnya. Alex melepas Riri pada akhirnya. Meski dengan benar-benar tidak rela. Matanya masih saja menajam, mengawasi tiap gerak-gerik Hamid yang kini tengah berjalan di sebelah Riri. Dan Hamid menyadari hal itu. Sangat menyadarinya.

Setelah merasa jarak yang membentang mampu melindungi isi pembicaraan mereka dari telinga Alex –meski tidak dari matanya-, langkah kaki mereka pun berhenti.

"Kak, kebetulan banget lu ada di sini. Gue juga mau nanya sesuatu sama lu. Sorry sebelumnya. Kenapa lu sekarang kayak ngejuhin gue sih?"

"Gue nggak ngejauhin lu kok."

"Duduk di meja yang berbeda saat lu ngeliat kalau gue udah nempatin kursi yang cukup buat kita semua duduk bareng di satu meja di kantin, pergi ke kantor dengan jam yang berbeda sama gue walau lu tinggal nunggu wisuda, itu yang lu bilang nggak ngejauhin gue?" tanya Riri sakratis.

"Oke, sorry kalau lu ngerasa gue jauhin. Gue bener-bener minta maaf. Tapi lu harus tahu apa yang mendasari gue buat ngelakuin hal itu." Riri bersedekap. Seperti menantang Hamid untuk memberikan alasan yang masuk akal. Dan Hamid malah mengalihkan pandangannya pada Alex yang ada jauh di ujung sana. Yang masih setia duduk menunggu Riri kembali dan mengawasi Hamid dari jauh.

"I'm still waiting.." kini dia mengetuk-ngetukkan kakinya ke tanah. Menegaskan pada lelaki di hadapannya kalau dia benar-benar tak sabar menunggu.

"Dia." Riri diam tak mengerti atas apa yang baru saja dikatakan Hamid.

"Pardon me?" Hamid menghela napas panjang. Bersiap untuk perdebatan panjang yang dia rasa akan segera dia lakukan dengan Riri.

"He's the reason. Your boy. Alex." Riri masih diam. Menagih penjelasan lebih lanjut dari Hamid.

"Come on, Ri! Lu nggak ngeliat kalau dia sekarang udah kayak apaan tahu sikapnya sama kita? Udah kayak anjing penjaga yang ngawasin lu hampir 24 jam sehari! Lebih parah daripada gue yang notabene masih jadi bodyguard lu sampai detik ini."

"Kak! Tega banget lu nyamain kak Alex sama anjing penjaga!" kata Riri tak suka.

"Oke, lewat bagian itu. Lu harus sadar, dia mulai berubah. Terlalu jauh berubah malah. Dia udah terlalu memonopoli waktu lu yang Cuma kurang dari 24 jam itu. Tiap gue, Billy atau Fred ada dalam radius satu meter dari sekitar lu, dia langsung berubah galak gila! Itu! itu yang bikin gue males gabung sama kalian berdua."

"Mungkin itu karena dia lagi capek." Suara Riri mulai melunak.

"Oh, dia selalu capek setiap saat ya? Atau emang dia selalu capek tiap ngeliat laki-laki di sekitar kalian?" kata Hamid sakratis.

"Gue ini laki-laki. Gue ngerti tatapan yang Alex lempar ke kita saat lagi ada di deket lu. Itu bukan emosi gara-gara capek, Ri. Percaya sama gue." Riri diam mendengar perkataan Hamid.

"Gue ke sini Cuma mau ngomong satu hal. Bilang ke pacar lu itu supaya nggak bersikap kayak gini. Itu bikin kita semua jengah. Bilang ke dia buat berhenti bersikap posesif kayak gitu. Jangan bikin kita makin nggak suka sama dia karena sikapnya itu. Atau yang lebih parah, nyuruh lu buat nggak deket-deket sama kami." Hamid kemudian melirik jam tangannya. "Ten minutes. Lima menit lebih cepet dari yang gue bilang ke dia. Gue pergi."

Love the Ice (Sekuel Music in Our Life)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang