Part 37

2.9K 41 20
                                    

Hawoooh Readerku yang baik hatinya!

Bertemu lagi dengan saya disini! *teriak pake toa*

Lagi-lagi mau memberi pengumuman yang menurut saya penting.

Sepertinya sebulan kedepan nggak bisa upload part baru.. Dosen kesayanganku ngasih tugas baru dengan deadline yang cukup pendek. Sebulan, cing! Cuma sebulan buat bikin mini riset (kalau boleh dibilang begitu) yang udah dibikin –dan sampe sekarang belom selesai karena belum nge-run data- ke dalam bentuk jurnal. Kayak jurnal aslinya. Beeeeh!

Jadi, biar tahun barunya nggak galau gara-gara nilai E nongol di transkrip nilai, jadi saya mohon undur diri buat menepi (lagi) dari dunia tulis menulis (semoga bisa).

Oke, anak-anakku udah mulai bertingkah di sini. Jadi, selamat menikmati

With lots of ketjoep mesra dan berlembar-lembar jurnal di depan mata,

Puji Widiastuti

++++++++++

Aku masih saja begini. Tak henti memelototi layar tak bersalah yang berpendar di hadapanku. Apa yang ku dengar tadi siang adalah pemicunya. Dan aku sedikit kesal karena hal itu lagi-lagi luput dari perhatianku yang akhir-akhir ini disibukkan oleh pasien-pasien yang seakan menyanderaku. Menyita hampir tiap detik yang ku miliki seharian.

"Nak, gimana keadaan adik kamu?"

"Masih baik-baik aja.. Tapi mukanya makin hari makin pucet. Oh iya, Dok. Hasil BMP belum keluar juga?" dan aku mendapati wajah dokter Sucipto yang mengrenyit heran. Memangnya pertanyaanku salah?

"Emangnya adik kamu belum ngasih tahu, Nak?" aku menggeleng.

"Hasilnya benar-benar buruk. Saya bahkan ragu bagaimana cara mengatasi yang satu itu.. Saya angkat tangan.."

Aku mendengar hal itu tadi siang. Jujur, aku terkejut. Sangat terkejut. Sekaligus memaklumi alasan Riri yang hingga saat ini belum memberitahukan hasil pemeriksaannya padaku. Seperti yang tadi aku bilang. Beberapa hari ini kami hampir tak pernah ketemu. Hanya bertatap muka beberapa saat waktu sarapan.

Ayah dan ibu belum mengetahui masalah ini. Aku bingung bagaimana cara memberitahukannya pada mereka. Takut ada teriakan histeris setelah mengetahui semuanya. Walau aku tahu, cepat atau lambat mereka juga harus tahu semuanya.

Ah, singkirkan semua pikiran itu, No! Sekarang berkonsentrasilah mencari sesuatu untuk mempertahankan hidup Riri di sisimu lebih lama lagi!

"Kak Nino? Tumben udah di rumah.. Kapan pulang?" kata Riri yang baru pulang, entah dari mana.

"Tadi sore kakak pulang." Riri duduk di atas sofa, tepat di sebelahku. Dia melirik sekilas ke arah laptop yang ada di atas meja ruang tamu, kemudian melengos.

"Hasilnya jelek, kak.. Two months.." katanya sambil melemparkan punggungnya pada sandaran sofa.

"Kemo."

"Ogah. Ngapain. Dokter aja udah bilang kalau kemungkinannya terlalu tipis. 70% : 30%. Jadi Riri nggak mau kemo."

"Tapi gimana-"

"Riri mau menikmati hari-hari yang tersisa aja. Belajar jadi orang egois yang hanya mementingkan dan mengejar kebahagiaan sendiri seperti orang gila, mungkin. Yang jelas, Riri akan ngelakuin semua hal yang Riri suka." Aku terdiam tak percaya dengan semua yang dia ucapkan. Tidak seperti orang yang tengah belajar untuk menjadi pribadi yang egois. Tidak.

"Satu beban telah terlepas. Walau tetap akan ada ikatan yang membelenggu, Riri nggak peduli. Yang penting beban-beban yang selama ini ada, harus enyah sesegera mungkin." Katanya sambil bangkit dari sofa dengan cepat. Menimbulkan sedikit guncangan pada tubuhku yang ada tepat di sebelahnya.

Love the Ice (Sekuel Music in Our Life)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang