Assyauqi 14.

639 58 1
                                    

❄Satu Hari Sebelum Kesakitan❄

Gentar hati gelisah ...
Menghapus asa rona bahagia,

Takut hilang, angan dalam selubung bayangan.

Harapan yang jemu untuk bertahan,

Inginku bersama, namun semesta mengingkarinya.

Salahku terlalu memaksa, hati untuk manusia.

***

Sepertinya banyak kupu-kupu terbang dalam perutnya, menggelitik, membuat bibir itu terus tertarik mengukir senyuman. Sesekali dia terkekeh kecil, menggelengkan kepala, mengusap rambut, serta masih banyak tingkah aneh lainnya. Dan parahnya semua hanya karena seluas senyum yang bahkan sudah tidak terlihat lagi, satu nama yang mengubah hari-harinya. Seseorang yang sudah mengenalkan agama keselamatan untuknya.

Hatinya terasa ringan, beban yang sempat bergelayut perlahan terlepas. Bersama langkah pasti, dia sudah mendapatkan jawaban akan keputusannya. Dua pekan dirinya merenung, menyendiri dalam studio tempatnya berlatih, dari pagi sampai larut malam. Sesekali meminta saran dari Imam masjid Al-Nour Islamic Center, Samir El Rajab. Beliau banyak memberikan saran, tak ayal hatinya merasa lebih tenang dalam mengambil keputusan.

Nyatanya selama dua pekan dia menjauh, minat untuk menjadi seorang mualaf semakin besar. Tak berkurang barang sedikitpun. Jika awalnya dia mengira alasan menjadi mualaf karena dia mencintai Alqyra, nyatanya Islamlah yang membuatnya mencintai gadis itu. Ketulusan hatinya, sikapnya dalam memahami orang-orang disekitarnya, semua dikarenakan dia adalah seorang muslimah yang patuh menjalankan perintah Tuhannya, meneladani sifat dan perilaku muslimah terdahulu. Imam Samir yang membantunya memahami Islam lebih dalam, dan karena itu semua dia memiliki jawaban dari segala kecamuk pertanyaan yang hampir membuatnya ragu.

"Hello Men!, kau datang lebih awal pagi ini." Jacob, teman sesama pianisnya langsung menyapa Jo begitu sampai di studio.

Sesuai jadwal, ini hari terakhir baginya untuk menyelesaikan sebuah lagu ciptaanya. Sekaligus gladi bersih agar acara yang akan diselenggarakan besok malam bisa berjalan dengan lancar.

"Hei bung! Aku kan sudah pernah bilang, mungkin ini terakhir kalinya aku mempersembahkan lagu di depan khalayak. Sudah sepantasnya ada kejutan besar bukan?."

"Kau sungguh akan berhenti, dude?."

"Yeah ... aku harus."

"WOW!. Kau hebat! Menyia-nyiakan kesempatan disaat karir sebagai pianis sedang melambung tinggi. Bukankah direktur sudah menawarkan konser dunia? Tiga benua dan 53 negara?." Jacob berucap sarkas, dia hanya tidak habis pikir dengan pemikiran sahabat karibnya ini.

"Aku hanya mencari ketenangan ...." ucapnya sembari menepuk dada kirinya. Wajahnya begitu tenang saat mengatakannya.
"Pikirkan ... bisa saja kesempatan konser dunia berlaih padamu, aku doakan itu." Kalimat yang sungguh ringan terucap dari lisannya, ada binar kesungguhan dan doa dalam kalimatnya.

"Cih! Yang benar saja. Tapi ... boleh juga." Jacob menaik turunkan alisnya seraya tersenyum aneh. Tampaknya dia membayangkan kesempatan besar itu benar-benar beralih padanya.

Jo hanya menggeleng takjub, sahabatnya yang satu ini memang tidak bisa diandalkan.
"Pergilah ... aku harus bekerja."

Bukannya menurut, Jacob tampak memikirkan sesuatu. Sampai satu pernyatan melintas begitu saja di kepala.
"Apa kau ... akan meneruskan Imperium bisnis ayahmu?."

AssyauqiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang