❄Sehelai Daun yang Rapuh❄
Kertas kosong, hanya kupandang jemu,
Waktu bergulir lamunan mengalir,
Ada sedan yang tertahan di ujung rindu,
Ada gema yang meminta rengkuhan hadir sebuah raga nan lugu.
Ingin kukejar, kudekap bayangan itu ...
Ah andai berjuta andai tak mampu,
Bayangan terlihat dibawah sinar mentari beradu,
Bukan mendung yang mangkir dari petala sendu.***
U-Bhan, ah ... rasanya kendaraan ini terasa begitu lenggang, musim dingin yang datang lebih awal ini memang sudah semakin menggila, dingin yang meremukkan tulang-tulang rangka manusia. Beruntung penghangat dalam kendaraan ini berfungsi dengan baik, meskipun tidak ada yang mejamin kehangatan saat mereka keluar dari kendaraan ini.
Sepuluh menit waktu yang cukup singkat bagi kendaraan panjang ini mengantarkan dua orang itu menuju tempat yang sebelumnya sudah mereka bicarakan. Oh ... belum, mereka belum sampai. Karena Alqyra membawa orang itu berjalan santai pada tempat yang sebenarnya sangat berat bagi Qyra untuk melangkahkan kaki disana.
Unter den Linden Street, persimpangan jalan itu tampak cantik dengan pepohonan yang berselimut salju. Jalanan yang cantik namun mematikan, sekiranya hal itulah yang membuat Qyra terpaku dari langkahnya. Dia bergeming, membuat Musthafa ikut menghentikan langkahnya.
Oh Allah, benarkah melepaskan sesakit ini?, mengapa melupakan juga sesulit ini?. Tanpa diminta cairan bening itu kembali menggenang. Sampai kala mata itu terpejam, dia luruh begitu saja.
Slarrrrkkk .... Brakkk!
Bahkan debuman itu masih terngiang di pendengarannya. Bayangan itu ... kembali berputar layaknya sebuah film.
"Alqyra ..." panggilan Musthafa justru membuatnya semakin tergugu. Isakan yang sesungguhnya masih tertahan itu justru lebih menyakitkan. Dia ... dia yang selalu menyebutkan nama depannya dengan lengkap, Dia yang tiga tahun lalu menjadi korban dari tragedi itu. Kini ... justru orang lain yang memangil namanya dengan begitu lembut, panggilan yang sungguh begitu hangat seperti Dia. Tapi ... mereka orang yang berbeda.
"Kita belum sampai," lirihnya kemudian, setelah sebelumnya menarik napas panjang, mengusap satu dua bulir yang meluruh. Kembali dia melangkah.
Menit demi menit berlalu. Membawa keduanya pada tempat itu.
Tahukah kalian tempat apa itu?.
Benar, jembatan Oberbaum. Saksi bisu dari perjumpaan dengannya. Tempat ini selalu sama, indah meski tertutup salju tebal tak mengurangi keindahannya. Sungai Spree yang dinginnya tak terukur itu justru semakin membawanya terlempar pada musim gugur dua tahun yang lalu, ah ... tidak sudah hampir tiga tahun.
Mengukirkan kembali dua nama yang kini kembali dia rindukan.
Naheed, oh ... apa kabar anak itu?.
Dan,
Dia, yang sungguh namanya saja keluh terucap. Bibirya bergetar, menahan tangis justru semakin membuatnya kedinginan. Dan ... lupakah dia pada seseorang yang sedari tadi setia membersamai langkahnya?. Musthafa mengenakan jaket tebal miliknya pada Alqyra, lelaki itu selalu saja memberikan sejuta kebaikan untuknya. Seperti saat ini, dia memberikan sebuah jaket yang memang dia bawa saat keluar dari rumah sakit. Awalnya Qyra tidak mengira isi tas tangan kecil itu adalah sebuah jaket tebal, namun kini dia mengerti. Bahkan senyuman itu ... begitu bersahabat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Assyauqi
Spiritual❕Sequel Ja Ich Bin Ein Muslim. Disarankan untuk membaca cerita pertama. Picture by: Pinterest * Senyap ... perlahan terkikis oleh sebuah pertemuan. Joseph Nollan, seorang pianis yang kehilangan sebuah makna kehidupan. Laki-laki yang dengan lancangny...