Chapter 2

3.1K 165 14
                                    

"Hmm ... Velly, nama kamu cukup menarik." Kak Berlian berjalan memutariku. "Sayang, orangnya gak semenarik namanya."

Itu ejekkan yang keji. Dadaku terasa bergemuruh. Ingin rasanya melontarkan semua cacian dan makian padanya. Namun, sayang, aki tak berani. Toh, kalaupun aku berani mencacinya, dia malah akan senang.

Terdengar suara tawa tertahan dari berbagai penjuru. Hal itu membuat pipiku terasa panas, pasti warnanya sudah semerah tomat sekarang.

Kak Berlian menjentikkan tangannya tepat di wajahku. "Heh? kamu mendadak tuli dan bisu ya? Dari tadi aku ngomong gak nyaut-nyaut."

Aku memberanikan diri bicara, "A-aku. Aku gak mendadak tuli dan bisu kok."

"Baguslah, gue pikir lo tiba-tiba bisu dan tuli atau yang lebih parah, serangan jantung misalnya? Abis lo diem mulu." Kak Berlian Tertawa mengejek.

Aku hanya menunduk, tak ingin membuat keributan. Memdadak kurasakan hentakan dalam perut, seakan ada yang meninjunya. Seandainya dia ada di sini, pasti dia akan menolongku.

"Jadi, Velly. Kamu kamu diem aja kayak patung di sini. Atau mau lari keliling lapangan? Soalnya, kalau kamu gak mau lari, kami bisa kok, kasih yang lain."

Kak Berlian maju mendekatiku dan berbisik, "Yang pasti akan lebih berat dari ini."

Lagi-lagi aku bergidik. Sungguh! Aku tak ingin berurusan dengannya lagi setelah ini.

"La-lari aja, Kak."

"Kalau gitu, cepetan lari!"

Aku tersentak, lalu mulai berlari.

Baru dua putaran, nafasku mulai pendek-pendek.

"Cepetan larinya!" titah kak Berlian saat aku sudah berlari empat putaran.

Sudah enam putaran. Kepalaku mulai menari-nari bersama burung yang terbang mengintarinya.

Delapan putaran. Pandanganku mulai kabur, lariku semakin lambat.

"Lian, kayaknya gak usah sampai lima belas kali deh. Kasian dia." Samar-samar terdengar suara Kak Rendy.

"Salahnya dia ngelawan!" bela kak Berlian.

Sebelas putaran. Aku kini sudah tak kuat berlari kencang. Sekarang perutku melilit, berontak meminta agar di isi.

"Kamu gak kasian sama dia?" Terdengar Kak Rendy kembali bicara.

"Gak tuh."

Empat belas putaran.

"Ayo, Velly, kamu bisa!" aku menyemangati diri sendiri.

Akhirnya, lima belas putaran. Aku bersorak kegirangan sebelum semuanya mendadak hitam.

***

"Kita akan selalu belsama, aku janji."

Entah mengapa perkataan itu terulang terus dalam kepalaku.

Kepalaku terasa sangat berat. Samar-samar terdengar suara orang berdebat.

"Gue kan udah ingetin! Jangan paksain dia! Liat akibatnya? Dia pingsan!" Pemilik suara serak berteriak.

"Mana gue tau kalau bakal kayak gini kejadiannya?" Kali ini suaranya berbeda, lembut namun tajam.

"Harusnya lo gak terlalu keras sama dia!" Si pemilik suara serak kembali berteriak.

"Lo kenapa jadi belain dia sih? Naksir lo sama dia?"

"Gue cuman kasian sama dia! Lo itu terlalu keras!"

"Fine! Lo gak bakal denger hal kayak gitu lagi. Karena gue gak bakal ngomong sama lo lagi!"

Setelah teriakan itu, terdengar suara pintu dibanting di susul dengan suara langkah kaki menjauh.

Aku memberanikan diri membuka mata. Pandanganki masih sekidit rabun, setelah berkedip beberapa kali, pandanganku kembali normal.

Terlihat sosok lelaki berbaju SMA sedang berdiri di ambang pintu. Ia berdiri membelakangiku, jadi aku tak tahu siapa sosok itu.

Setelah beberapa menit, lelaki itu berbalik. Kak Rendy. Ia terperanjat ketika melihatku.

"Syukurlah, kamu udah sadar." Kak Rendy berjalan mendekatiku.

"Kamu gak papa?" lanjutnya.

"Eh? Gak, gak papa kak."

"Aku khawatir banget sama kamu." Kak Rendy tersenyum.

Senyum Kak Rendu sangat berbeda dengan senyum Kak Berlian. Senyum Kak Rendy sangat manis. Mengingatkanku pada sosoknya, yang kini entah di mana.

"Tadi, kata petugas UKS, kamu kurang makan," ucap Kak Rendy. "Eh, geser dong."

Aku menggeser tubuh beberapa senti. Memberinya ruang untuk duduk di tempat tidurku.

"Kamu emangnya belum makan?"

"Be-belum, Kak. Tadi gak sempet sarapan."
Kak Rendy mengambil sepotong roti yang tergrletak di meja samping tempat tidurku.

"Ya udah. Makan dulu nih." Ia menyodorkan rotinya padaku.

Aku menggeleng. "Gak nafsu, Kak."

"Kamu harus makan. Nanti kamu tambah sakit," saran Kak Rendy.

"Tapi aku gak nafsu, Kak." Aku cemberut.

Kak Rendy menyobek bagian kecil roti itu. Ia menyodorkannya padaku.

"Makan," titahnya.

Aku terpana. Sikapnya sungguh bertolak belakang dengan sikap Kak Berlian.

"Makan. Kalau kamu gak makan, aku gak bakal pergi dari sini."

Aku tersenyum, lalu membuka mulut. Kak Rendy memasukan potongan roti itu ke dalam mulutku.

"Nah, gitu dong. Pinter." Ia menepuk puncak kepalaku.

Pipiku terasa hangat, jantungku mulai berlari marathon. Semoga aku tak terlihat memalukan sekarang.

"Makasih, Kak." Aku tersenyum.

"Gak masalah. Itung-itung permintaan maaf aku sama kamu," sahutnya.

Aku mengerutkan kening. "Permintaan maaf?"

Kak Rendy menggaruk kepalanya. Dari raut wajahnya terlihat bahwa ia sedang salah tingkah.

"Iya, permintaan maaf aku karena gak nahan Lian pas dia ngehukum kamu."

TBC

Jalan Hijrahku [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang