Chapter 12

1.8K 94 0
                                    

Di rumah, aku kembali memikirkan hal yang baru saja terjadi. Mengapa Tadi aku lari? Bukankah harusnya aku diam dan mendengarkan apa yang akan diomongkan Iqbal? Arghh! Aku menjambak rambutku frustrasi.

Kenapa aku menjauhinya? Dia pasti berfikir aku tak menepati janjiku. Siapa tau dia memang cinta sejati yang selama ini dicari? Jika iya, aku telah menghalangi diri sendiri untuk mendapatkan cinta sejati!

Aku harus memperbaiki semuanya. Harus! Namun, apa yang harus dilakukan? Menunggu sampai besok? Ah, tak mungkin! Itu terlalu lama. Menghubunginya? Nampaknya itu ide bagus, tapi aku tak mempunyai alamat rumah maupun nomor telponnya!

Siapa kira-kira orang yang mengetahui nomor telpon Iqbal? Fahri? Ya, mungkin Fahri tau, tapi lagi-lagi aku pun tak tahu nomor telponnya. Radith? Ya, Radith! Manusia jail itu pasti mengetahui nomor Iqbal. Secara mereka tadi sudah nampak akrab.

Pikiran menyenangkan itu memenuhi diriku. Dengan semangat 45 aku mengambil handphone-ku dan menghubungi Radith.

Setelah nada sambung beberapa kali, suara Radith terdengar.

"Ya? Kenapa Vell? Baru pulang udah nelpon aja, Kangen?" Radith terkekeh.

Bagaimana caranya meminta nomor Iqbal tanpa Radith curiga? Ah, bodo amat, yang penting aku harus mendapatkan nomir Iqbal dan menjelaskan semuanya!

"Err ... Dith, lo punya nomor Iqbal gak?" tanyaku hati-hati.

"Nomor apaan? Nomor sepatu?" candanya

"Dith! Serius! Lo punya nomor hp Iqbal gak?" tanyaku dengan penuh penekanan dalam setiap kata.

"Ada, kenapa? Lo naksir sama dia?"

"Itu bukan urusan lo ya. Cepetan kasih no-nya!!" ucapku tak sabar.

"Iye, iye. Galak amat. Nanti no-nya gue kasih lewat WA."

"Oke, thanks." Aku langsung menutup telpon.

Tak berapa lama, pesan dari Radith yang berisikan nomor Iqbal masuk. Tanpa membalas pesannya aku langsung saja men-save nomor sahabat kecilku lalu menelponnya.

Setelah nada sambung ketiga. Terdengar suara lembut nan merdu menyahut.

"Assalamu'alaikum, ini dengan siapa ya?"
sapanya.

"Ini Iqbal bukan?"

"Jawab salam itu wajib loh. Jawab dulu," titah suara itu.

Aku mendecak sebal.
"Wa'alaikumussalam. Ini dengan Iqbal?" ulangku.

"Iya, ini Iqbal. Siapa ya?"

"Ini Velly."

"Maaf, aku sibuk. Lain kali saja ngobrolnya ya. Assalamu'alaikum."

Klik.
Telpon ditutup begitu saja. Seketika dadaku seakan ditusuk oleh ribuan bahkan jutaan jarus tajam. Sangat menyakitkan.

Apa ia begitu marah padaku yang mengabaikannya hingga ia langsung menutup telponnya begitu tahu bahwa aku si penelpon?

Buru-buru aku kembali menelpon Iqbal. Hanya terdengar nada sambung kemudian suara operator yang menyahut. Begitu seterusnya.

Bulir-bulir cairan bening berhasil lolos dari kedua mataku. Separah itukah perlakuanku padanya tadi pagi? Sungguh! Aku menyesali semuanya sekarang! Bagaimna mungkin aku bisa melupakan perasaan yang sudah timbul sejak lama?

Tanganku mulai menyeka cairan bening yang mulai turun ke pipi. Aku harus menyelesaikan ini. Harus! Namun, lagi-lagi aku terhalang oleh ide. Ya sudahlah, menelponnya lagi tak akan membuahkan hasil. lebih baik aku menunggu sampai besok.

~~~
~~~

"Bal! Iqbal! Tunggu!" Percuma, Iqbal tak akan mendengarnya.

Hari ini aku datang ke sekolah lebih awal agar bisa berbicara pada Iqbal dengan tenang. Hasilnya? Nihil, begitu aku terlihat mendekat, ia langsung pergi begitu saja.

Aku butuh seseorang yang bisa memberiku saran tentang hal ini. Radith? Tidak. Ia hanya akan menertawaiku. Seketika ide cemerlang itu datang ketika seorang pemuda melangkahkan kakinya masuk ke dalam kelas.

"Fahri! Gue mau ngomong sama lo!"

"Astagfirullah. Kamu Velly, 'kan? Kalau mau mulai pembicaraan. Lebih baik mengucap salam terlebih dahulu. Dan, bisa gak ngomongnya gak teriak-teriak?" sarannya.

Aku mendengus kesal. Dua orang ini sama saja kelakuannya. Selalu menceramahiku tentang hal ini.

"Oke, oke. Assalamu'alaikum, Fahri." Aku tersenyum setengah tulus. "Bisa kita bicara sebentar?"

"Nah, gitu, kan adem dengernya. Oke, lo mau ngomong apa?"

Kepalaku berotasi ke kanan dan ke kiri untuk memastikan keadaan aman.

"Ri, ini soal Iqbal," jelasku.

"Kenapa? Lo suka sama Iqbal?" duganya.

"Kalau gue jawab iya, salah gak?"

Fahri terlihat berfikir sejenak.
"Enggak juga sih. Dan sejauh yang gue tau, lo sahabat masa kecilnya si Iqbal, 'kan?"

Mataku membulat sempurna. Ia tahu!
Aku hanya mengangguk sebagai jawaban, lalu menunggu ia menyelesaikan perkataannya.

"Iqbal itu sebenernya gak marah gara-gara kelakuan lo kemarin. Iqbal cuman ngerasa, lo tuh sekarang beda banget. Dulu 'kan Velly yang dia kenal baik, sopan, pokoknya the best lah. Jadi, Iqbal itu pengen lo berubah dulu." terangnya panjang lebar.

"Berubah kayak gimana nih?"

"Banyak langkah yang harus lo ambil biar si Iqbal suka sama lo." Ia terdiam sejenak. "Pertama, lo harus pake hijab."

Pernyataan Fahri sukses membuat mataku membuat senpurna. Apa? Pake hijab?

"Gak usah kaget gitu. For your information, Iqbal itu belum pernah pacaran. Dia pernah bilang ke gue, dia itu mau langsung ta'aruf  aja."

Tunggu, ada satu kata yang tak kumengerti disini. "Ta'aruf? Apaan tuh? Kayak pernah denger, tapi gue lupa artinya."

Fahri terdiam selama beberapa detik. Kemudian berkata, "Lo lupa apa emang gak tau?"

Ihh! Kalau aja dia bukan teman baik Iqbal, gak bakal aku ngomong sama dia. Walaupun dia tampan! Tunggu, apa? Aku bilang dia tampan? Ahh!! Biarlah!

"Oke, gue emang gak tau! Puas? Udahlah, gak penting juga, nanti gue bisa nyari sendiri di internet! Sekarang, kasih tau gue! Kenapa gue harus pake hijab?"

Fahri tersenyum. "Selain itu kewajiban lo sebagai seorang muslim, Iqbal itu suka tipe-tipe cewek alim."

Aku mengabaikan alasan pertama. "Tapi, gimana gue kuat pake hijab? Secara pasti nanti gerah!" aku beralasan.

"Mungkin awal-awal emang gerah, tapi kalau udah biasa gak bakal kok. Lagian, katanya lo mau jadi pendamping Iqbal, 'kan?"

"Kayak lo udah pernah pake aja," tukasku. "Tapi ide lo bagus juga, okelah. Mulai besok gue bakal pake hijab."

"Nah, gitu dong! Lagian lo pasti bakal lebih cantik kalau pake hijab!" terangnya.

Yeayy!!
Lagi-lagi author ketceh kembali!
Sekarang udah mau masuk ke bagian intinya nih!
Kalau kalian suka ceritanya, jangan lupa Vote and Coment. Oke?
Sampai jumoa di chapter berikutnya.
Love You Readers!

Jalan Hijrahku [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang