Chapter 17

1.8K 78 0
                                    

"Lo pulang naik apa?" Fahri bertanya.

Setelah sesi ejek-ejekkan dari Fahri, aku mengetahui, bahwa huruf hijaiyah itu ada 29. Habis itu, aku mulai membaca iqro dari bab pertama.

Aku sudah selesai membaca separuh bab tersebut saat Fahri menghentikannya dan berkata sudah sore.

"Gak tau tuh, paling angkot." Aku mengangkat bahu. "Lo mau anterin gue ya?"

"Dih, ge-er banget. Enggak kali, nanti deh kalau lo mau di anterin gue kalau kita ...," ucap Fahri ambigu.

Aku jadi penasaran. "Kalau kita apa?"

"Kalau kita ... udah muhrim!"

Aku menoyor kepalanya sebal. "Gak akan!"

Fahri hanya tertawa, melambaikan tangan lalu berjalan menuju motornya.

***

"Abis dari mana, Vell?" tanya Mama.

Sampai di rumah. Aku langsung di sambut oleh Mama yang berdiri di ambang pintu dengan tangan menyilang.

"Anu ... itu ... Velly, Velly abis ngerjain tugas kelompok," jawabku terbata-bata.

Mama menyipitkan mata. Walau tampak tak percaya, Mama mengangguk dan menyuruhku masuk.

Begitu aku hendak naik tangga menuju kamar, Mama menghentikanku.

"Eh, Vell. Denger-denger Iqbal pindah ke sekolah kamu?"

"Iya. Mama tau darimana?" tanyaku heran.

"Mama kan punya banyak kenalan," kekeh Mama. "Gimana? Ganteng gak dia? Kamu masih suka sama dia?"

"Mama kepo nih. Tanya aja sama kenalan mama." Aku melanjutkan naik tangga. Meninggalkan mama yang penasaran.

Setelah mandi dan berpakaian, Aku merebahkan diri di kasur. Rasanya sungguh menyenangkan. Aku baru akan memejamkan mata kata handphone-ku bergetar.

Aku merogoh saku dengan malas, mengeluarkan hp dan mengecek notifikasi. Hmm ... ada tiga pesan masuk.

Satu dari Radith, menanyakan soal tugas kelompok.

Satu dari Fahri, mengingatkan aku untuk sholat.

Yang terakhir ... Rendy! Aku segera bangkit dan duduk. Dengan cepat aku membuka pesannya.

Rendy

Halo, Vell?

Aku segera mengetikkan balasan.

Ya?

Aku mau ngomong sesuatu sama kamu.

Apa?

Tak ada jawaban. Apa yang dia inginkan? Apakan dia hanya bercanda? Mengetes apa aku masih mencintainya atau tidak?

Agrh! Rumit sekali! Nyaris kulemparkan hp yang berada dalam genggaman. Jika tidak teringat perjuangan untuk membeli banda pipih ini.

Jadi, kuputuskan untuk tak peduli dan tidur. Berusaha melupakan kejadian tadi, bersiap menghadapi esok hari.

***

Begitu kakiku memasuki ruang kelas, hening. Tentu saja, belum ada orang selain aku yang berada di sini.

Aku terpaksa berangkat lebih awal karena Mama terus menerus menggodaku tentang Iqbal. Jadi, aku langsung berdiri dari meja makan dan berkata bahwa ada tugas yang harus di selesaikan di sekolah.

Jalan Hijrahku [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang