Chapter 15

1.8K 85 0
                                    

Fahri tertegun. "Kok gue?"

"Emang siapa lagi yang bisa ngajarin gue?" aku balik bertanya.

"Kan guru agama di sini bisa," elaknya.

"Males ah, kalau harus sama guru. Lo aja deh, ya? Plisss." Sebelum Fahri membuka mulut untuk membantah, aku melanjutkan, "perkara gak muhrim? Nanti kita belajarnya di sekolah aja. Kan di sekolah ada penjaganya tuh."

Fahri tampak berfikir sejenak. "Ah, oke. Mulai kapan?"

Aku melompat-lompat kegirangan bak anak kecil. Tak memperdulikan banyaknya orang berlalu-lalang.

"Velly, Velly. Lo itu udah pake hijab. Perbaiki sikap lo dikit, kek," Fahri memulai ceramah.

"Iya, Pak Fahri. Jadi, kita mulai belajarnya hari ini gimana?" usulku.

"Enggak. Jangan hari ini," tegas Fahri. Ia menggelengkan kepalanya. "Gue masih banyak tugas sekolah."

Aku memajukan mulutku. "Jadi, kapan dong kalau gitu?"

"Gak tau, nanti aja gue kabarin," ujarnya.

"Oke, Pak Fahri. Asal jangan lama-lama. Atau nanti saya datengin rumah Bapak." ancamku.

"Mana ada murid yang ngancem gurunya?" tanya Fahri dengan suara yang di berat-beratkan, ia menelengkan kepalanya.

"Saya, Pak!" Aku menggigit bibir bawahku. Berusaha untuk tidak tertawa.

"Bagus," ujar Fahri, masih dengan suara yang sama. "Ya, sudah. Ayo kita masuk ke kelas."

Aku mengangguk patuh. "Baik, Pak."

~~~
~~~

Di dalam kelas, lagi-lagi aku tak menyimak pelajaran yang di berikan. Pikiranku sibuk berinmajinasi. Membayangkan aku menikah dengan Iqbal dan hidup bahagia selamanya. Persis layaknya film-film romantis.

Namun, entah kenapa, bayangan itu tak membuatku puas. Seperti ada sesuatu yang kurang dari sana, Tapi, apa yang kurang?

"Velly, lo daritadi belum jawab pertanyaan gue loh." Radith lagi-lagi mengatakan hal itu.

Aku berdecak sebal. Gara-gara Radith bayanganku akan rumah tangga dengan Iqbal langsung buyar.

"Vell? Jawab napa. Abis itu gue gak nanya-nanya lagi deh," janjinya.

"Janji?" Aku mengambil buku catatan dan mendekatkannya ke wajahku. Agar terlahang dari pandangan guru.

"Janji."

"Emang tadi lo mau nanya apa?" Sesekali aku melirik di mana keberadaan guru.

"Gue tadi nanya--eh, tadi gue nanya apaan, ya?" Ia balik bertanya.

"Ya elah. Malah lupa sama pertanyaanya," desisku.

"Ya sudahlah, mau gimana lagi. Lupa gue." Radith mengangkat bahu.

Aku mendelik padanya, sungguh menyebalkan. Ia membuyarkan lamunanku hanya untuk ini? Sangat tidak berguna.

"Baik, anak-anak. Bapak akan membagi jalian menjadi beberapa kelompok agar memudahkan pembelarajan," ucap Pak guru nyaring. "Kelompok pertama ...."

Perkataan Pak guru selanjutnya tak lagi di dengarkan. Tidak penting. Setidaknya sampai dia menyebut namaku.

"Kelompok ketiga, Velly Lestari, Muhammad Fahri, dan Radith Sanjaya."

Hah? Aku sekelompok dengan orang-orang yang paling menyebalkan? Bagaimmna mungkin? Seharusnya aku sekelompok dengan Iqbal.

Aku menoleh ke belakang ingin melihat bagaimana reaksi Fahri dan Iqbal. Sahabatku, ralat. Sahabat masa kecilku, tampak tak terpengaruh dengan hal itu. Fahri, ekspresinya tak jauh berbeda dengan Iqbal. Sungguh menyebalkan.

Aku memberanikan diri mengangkat tangan. "Pak."

Pak guru mengalihkan pandangannya padaku. "Ya, Velly?"

"Anu, sa--saya boleh gak, ganti kelompok?"
Kedua alis Pak guru tampak menyatu. "Kenapa?"

"Karena, kalau saya di kelompok itu, pasti cuman saya yang kerja."

"Kenapa kamu yakin sekali? Bukankah ini pertama kalinya kamu satu kelompok dengan Radith dan Fahri?"

Aku menjawab dengan terbata-bata.

"Velly, permintaanmu bapak tolak." Pak guru menatapku tajam. "Sekian pelajaran hari ini. Jangan lupa kerjakan tugas yanh saya berikan! Assalamu'alaikum."

Terdengar jawaban kompak para penghuni kelas.

Aku mengerecutkan bibir dengan kesal. Ish! Bagaimana bisa aku sekelompok dengan orang-orang paling menyebalkan?

Tiba-tiba seseorang menepuk bahuku perlahan. "Hei, gak usah ngambek. Lo gak akan nyesel sekelompok sama gue kok."

Aku memutar kepalaku untuk melihat si empunya tangan. Fahri sedang menatapku sembari tersenyum. Senyumnya cukup manis. Eh, apa yang barusan aku bilang? Manis? Tidak mungkin!

"Kenapa lo bisa seyakin itu?" tanyaku meremehkan.

Ia mendekatkan mututnya ke kupingku lalu berbisik. "Karena, kalau gue sekelompok sama lo, kita jadi punya alasan buat diem di sekolah cukup lama." Kepalanya mundur menbali beberapa senti.

Ah, ya. Perkataannya itu memang benar. Aku jadi punya alasan untuk diam di sekolah. Agar Fahri bisa mengajariku cara mengaji tanpa menimbulkan fitnah.

Aku mengangguk puas. Hal itu jadi tidak terlalu buruk. "Kapan kita bisa mulai pelatihannya?"

Sejenak Fahri menatapku, lalu ia mengalihkan pandangannya ke lantai dan tampak berfikir. "Besok, mungkin?"

"Good. Semakin cepat semakin baik." Aku tersenyum padanya.

"Sekarang, gue mau ke kantin dulu, laper. Ikut?" Fahri menawari.

"Gak ah, gue lagi diet."

"Daripada diet, lo puasa aja. Dapet pahala. Plus, manfaatnya sama kayak diet."

Ah, ia memulai kembali ceramahnya. "Suka-suka gue dong. Hidup-hidup gue," balasku tajam.

Fahri mengangkat bahu, berjalan ke arah pintu. Tepat di ambang pintu, ia berbalik dan berkata, "Hati-hati sakit."

Setelah berkata demikian, Fahri kembali berbalik dan melanjutkan langkahnya.

Aku mengerutkan kening, apa maksud dari perkataannya?

TBC

04 februari 2019

Jalan Hijrahku [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang