Chapter 3

2.8K 140 8
                                    

Akhirnya, setelah beberapa hari MOS yang menyiksa, kini aku resmi menjadi siswi SMA. Yeay!

Tak ada hal yang seru dari MOS setelah hari pertama. Yah, kadang Kak Berlian sering menghukumku tanpa alasan.

Untungnya, Kak Rendy dengan sigap menolongku. Hal yang pasti akan dia lakukan juga jika masih berada di sini. Ah, sudahlah, tak baik mengingat masa lalu.

Kini aku sudah sampai di sekolah dengan menggunakan seragam SMA bukan lagi seragam SMP. Kulihat banyak siswa-siswi bedesak-desakkan melihat mading.

Karena rasa penasaran yang amat besar, aku berusaha masuk dalam kerumunan. Untungnya, karena tubuhku yang lumayan langsing, aku berhasil menembus kerumunan.

Di mading tertempel banyak kertas. Ah, rupanya pembagian kelas. Dengan cepat jari-jariku menelusuri setiap nama. Setelah beberapa menit mencari, akhirnya aku menemukannya. Aku masuk kelas X IPA-2. Tidak buruk.

Pembagian kelas di sini berdasarkan nilai yang di dapat saat tes masuk. X IPA-1 berisikan orang-orang jenius. X-IPA 2 berada di bawahnya, dan begitu seterusnya.

Dengan semangat 45 aku berlari menuju kelas. Untungah, koridor kelas sepuluh IPA berada di lantai satu. Karena, jika berada di lantai dua, aku harus melewati koridor kelas dua belas. Yang berarti, aku akan bertemu Kak Berlian setiap hari.

Begitu sampai di ambang pintu, pandanganku mengedar ke seluruh kelas. Hanya ada beberapa murid yang kukenal karena berada di kelompok yang sama saat MOS.

Hmm ... di mana aku harus duduk? Nyaris semua anak sudah mendapat tempat duduknya. Baris pertama sudah terisi penuh. Yang tersisa hanyalah satu bangku di baris kedua dan beberapa bangku baris ketiga.

Rata-rata setiap kelas berisikan 24 murid. Jadi, terdapat empat buah meja di barisan depan, dan tiga baris ke belakang. Aku memutuskan duduk di barisan pertengahan--barisan kedua. Karena, jika di barisan terakhir pasti akan sulit berkonsentrasi.

Aku meletakkan tas di bangku yang tersisa di baris kedua sembari melirik bangku samping. Di sana terdapat sebuah tas berwarna hitam. Dari modelnya, terlihat bahwa pemilik tas ini adalah seorang pria. Yah, walau tak menutup kemungkinan pemiliknya wanita.

Aku mendudukkan diri di bangku dan mengeluarkan buku dari tas. Bukannya sok rajin, aku hanya ingin melampiaskan semua masalah dalam diri dalam bentuk coretan tak berarti.

Kak Berlian yang rese, dia selalu mencari kesalahan-kesalan sekecil apapun dariku. Nampaknya dia sangat senang jika bisa menghukumku.

Kak Rendy yang baik hati. Dia selalu membelaku saat Kak Berlian berniat menghukumku. Hal yang pasti dia akan lakukan jika masih di sini.

Semua perasaan itu aku tumpahkan dalam coretan tak berarti. Mungkin lebih baik aku membuat puisi saja. Ah, tapi aku sedang tidak mood untuk membuat puisi.

"Lo kesambet, ya?"

Sebuah suara membuat aku menghentikan aktifitas. Aku mendongak, melihat si empunya suara. Ah, aku tau dia. Dia yang membuat kerusuhan saat MOS berlangsung. Radith.

"Hah?" Hanya itu yang keluar dari mulutku.

"Lo kesambet?" ulang Radith.

Aku menggeleng. Tak mengerti dengan ucapannya. Aku kesambet? Enak aja.

"Terus, kenapa lo nyorat-nyoret kertas dengan brutal? Kasian kertasnya." Ia terkekeh.

Aku memutar bola mata. "Itu urusan gue."

"Itu emang urusan lo. Gue cuman kasian sama kertasnya. Jadi pelampiasan lo. Sakit tau rasanya."

Radith menarik kursi di sampingku dan mendudukinya.

"Lo ngapain duduk di sini?"

"Lah, ini kan tempat duduk gue. Harusnya gue yang nanya, lo ngapain duduk di samping gue?"

Apa? Aku akan sebangku dengan cowok rese ini? Tidak mungkin. Aku harus secepatnya pindah dari sini.

Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling. Mencari bangku kosong yang bisa kutempati. Nihil. Semuanya telah terisi.

"Tuh kan bener kesambet." Radith menggelengkan kepalanya. "Gue ajak ngomong malah bengong."

Aku mendengus kesal. Bagaimana mungkin aku bisa tahan duduk di sini selama satu semester?

"Apa perlu gue panggilin guru Agama? Biar dia bisa ruqyah lo?"

Aku menoleh. "Gak usah, makasih atas perhatiannya." Aku tersenyum setengah tulus.

Kini giliran Rendy yang memutar bola mata. "Sama-sama. Eh, Betewe, gue belum tau nama lo siapa?"

Ia mengulurkan tangannya. "Rendy."

Aku menyambut uluran tangannya dengan ragu-ragu. "Velly."

Radith membelalakan matanya. "Oh, iya. Gue baru inget. Lo yang waktu itu pingsan pas MOS 'kan?"

Tahu tak ada gunanya jika berbohong, aku menganggukkan kepala.

"Iya. Terus Kak Rendy gendong lo ada bride style. Dia kayaknya khawatir banget sama lo."

Indra penglihatku membuka sempuna. Kak Rendy yang membawaku ke UKS?

Berusaha terlihat biasa saja, aku berkata. "Oh, ya?"

Radith mengangguk-angguk bersemangat. "Iya. Abis lo pingsan Kak Rendy langsung lari nyamperin lo dan bawa lo ke UKS. Tapi Kak Berlian kayaknya gak seneng."

Tentu saja Kak Berlian tak akan senang melihatku.

"Udah ah sesi ceritanya. Gue mau keluar."

Tanpa menunggu jawabanku, ia melangkah keluar. Untunglah, ia tak melihatku yang kini tersenyum lebar.

TBC

Jalan Hijrahku [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang