Chapter 13

1.8K 95 3
                                    

Pake hijab? Siapa takut. Lagipula, ini demi mendapatkan Iqbal kembali. Ini adalah perjuangan cinta!

Nampaknya pulang sekolah aku harus pergi ke mall karena aku hanya mempunyai sedikit koleksi hijab. Itupun sudah usang. Tetapi, dengan siapa aku pergi? Radith adalah nama pertama yang muncul di pikiran.

Aku menoleh ke samping. Radith sedang memperhatikan penjalasan guru sembari bertopang dagu. "Dith, Radith," panggilku.

Radith menoleh. "Apa?"

"Nanti pulang sekolah temenin gue ke mall ya?" Aku mengatupkan kedua tangan di dada.

"Ogah, ah. Kayak gue gak ada kerjaan lain aja." Ia kembali menatap lurus ke depan.

Ishh! Lalu dengan siapa aku pergi? Aku tak mungkin pergi sendiri. Bisa-bisa di trngah jalan aku di rampok. Hihh. Aku bergidik memikirkan kemungkinan itu.

Lalu, siapa yang mau menemaniku belanja? Aku tak punya sahabat perempuan. Hmm, mataku menyapu seluruh kelas. Mencari sosok yang mungkin mau di ajak ke mall.

Aku menoleh ke belakang. Tersenyum sekilas pada Iqbal. Ia tak membalas senyumanku, tangannya sibuk menulis. Entah dia tak melihat atau pura-pura tak melihat. Aku berpaling pada Fahri, seketika ide cemerlang muncul di kepala.

"Ri, Fahri," panggilku.

Fahri tak merespon. Ishh! Dua orang ini sama saja.

"Fahri," aku mengeraskan suara.

Fahri menghentikan aktivitasnya. Lalu menatapku dengan malas. "Apa?"

"Nanti lo harus temenin gue ke--"

"Velly, kamu lagi ngapain?" Suara Bu Naya memotong ucapanku.

Seketika terasa pipi mulai memanas. Aku berbalik perlahan, mengacungkan dua jari, lalu tersenyum tanpa dosa pada Bu Naya.

"Hehe, maaf, Bu. Tadi saya lagi liat Fahri, dia bener nulis apa enggak." Aku menunjuk Fahri.

Bu Naya menyipitkan mata. Lalu beralih menatap Fahri "Benar begitu, Fahri?"

Melihat gelagat Fahri yang akan jujur, buru-buru aku menendang kakinya dari bawah meja. Fahri mengaduh.

"Tuh kan, Bu. Fahri itu sakit, jadi tadi aku nanya apa dia mau ke UKS atau enggak." Aku berusaha memasang tampang meyakinkan. "Iya kan, Fahri?"

Fahri menatapku sejenak. Menghela nafas, lalu berkata, "Enggak, Bu. Saya gak sakit, tadi itu Velly nendang saya, Bu."

Mataku membulat sempurna. Sial! Fahri sungguh tak bisa diajak kerja sama.

Bu Naya memandangku tajam. "Velly, sekarang kamu keluar! Kamu boleh masuk sesudah pelajaran Ibu!" perintahnya.

Aku hanya menunduk. "Baik, Bu."

Aku berdiri, memandang Fahri sekilas, lalu pergi ke kuar kelas. Dia itu sungguh menjengkelkan. Tak sedikitpun rasa bersalah nampak di wajahnya.

Aku melirik jam tangan, pelajaran bu Naya masih berlangsung selama satu jam. Apa yang harus kulakukan selama itu? Ke kantin? Itu ide bagus, tapi hanya akan mendatangkan masalah baru.

Alhasil aku hanya duduk diam di pinggir pintu kelas. Dengan kepala menunduk, memandang kedua kaku. Memikirkan semua hal yang terpikir di benakku. Hal pertama yang muncul adalah Iqbal.

Aku masih penasaran apa dia semarah itu hanya karena aku berlari meninggalkannya saat itu? Itu hanya hal sepele. Terjadi karena aku masih kaget atas kedatangannya yang tiba-tiba.

Ataukah ada alasan lain? Jika iya, apa? Ahh! Bukannya dapat pecerahan, malah menambah pertanyaan di kepala. Ayolah, Velly, kita pikirkan hal lain.

Lalu nama lain muncuk di kepala. Fahri. Mengapa ada orang semenyebalkan dan sejujur dia? Aku tau, kita memang harus jujur, tapi, apa salahnya jika berbohong untuk menolong teman? Nampaknya dia memegang teguh prinsip kejujuran.

Atau ternyata dia hanya ingin membuatku di hukum? Mungkin itu lucu baginya. Ya, dia pasti hanya ingin melihat aku dihukum. Daftar orang menyebalkan di hidupku pun bertambah.

Kenapa tak ada satu orang pun di dunia ini yang bisa membuatku bahagia? Mengapa mereka hanya membuatku semakin terpuruk? Argh! Aku mengacak rambut.

Tiba-tiba bel pergantian pelarajan berbunyi. Buru-buru aku melihat jam di tangan. Wow. Memang benar, 2 jam sudah berlalu. Kenapa rasanya cepat sekali? Ah, biarlah, yang penting aku tak lagi duduk sendiri layaknya orang kesepian. Aku langsung masuk dan kembali duduk di kursi.

Aku menoleh kebelakang. Menatap tajam Fahri, dan berkata, "Thanks ya untuk kejujurannya tadi."

Fahri yang sedang fokus menulis mengangkat wajahnya, lalu tersenyum. "Sama-sama."

Nampaknya dia pun kebal sindiran. Atau dia memang tak sadar bahwa itu sindiran.

Aku langsung berbalik, malas untuk melihat mukanya. Tetapi, aku masih butuh orang untuk mengantarku ke Mall. Ah, nanti saja pulang sekolah aku cegat Fahri.

Ketika bel pulang berbunyi, aku langsung menjalankan rencana. Kini aku tengah menunggu Fahri di parkiran. Tadi pagi aku melihat Fahri membawa mobil.

Tak butuh waktu lama, sosok yang di harapkan datang. Fahri berjalan santai menuju parkiran, tangan kanannya sibuk memainkan handphone, sementara tangan kirinya memainkan kunci mobilnya.

Dengan langkah seribu aku langsung menghampirinya. "Ri, gue butuh bantuan lo."

"Bantuan apaan?"

"Lo anterin gue ke mall sekarang." Aku menarik tangan Fahri.

Belum setengah jalan, Fahri menepis tanganku. "Berdua doang?"

Aku mengangkat sebelah alis, apa maksud perkataannya? "Iya, berdua. Awas lo kalau macem-macem."

Fahri menghentikan langkahnya. "Gue gak bisa kalau kita berdua doang."

Aku tertawa, "Kenapa? Kita bukan muhrim?"

"Nah, itu lo tau."

"Terus, harus ada berapa orang biar gak masalah? Sekelas? Atau satu sekolahan?" ejekku.

"Maaf, Vell. Gue gak bisa. Lo pergi sendiri aja ya," tolak Fahri, ia meneruskan langkahnya.

"Cuman gara-gara kita bukan muhrim?" aku berteriak.

Fahri berbalik. lalu berkata, "Itu bukan cuma, Vell. Kita emang bukan muhrim. Jadi, kita gak boleh jalan berdua. Nanti yang ketiganya setan, Vell."

"Alah, bilang aja lo ogah anterin gue, 'kan? Gak usah bawa-bawa agama deh," sindirku.

Fahri berjalan mendekatiku. "Asal lo tau ya, Vell. Gue itu mau kok nganterin lo. Asal, kalau kita udah muhrim."

"Hah? Udah muhrim? Maksud lo nanti gue nikah sama lo? Ogah banget. Mending jomblo seumur hidup."

Fahri kembali meneruskan langkahnya menuju mobil. "Jodoh kan cuma Allah yang tau."

Aloo
Berjumpa lagi dengan si author ketceh.
Jangan lupa kasih vote and coment kalau kalian suka ceritanya ya.
Samoai jumoa di chapter berikutnya.
Bye, bye.

Jalan Hijrahku [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang