26 | Hah?

127 17 0
                                    

"Jadi, gue ngajak lo ketemuan disini, karena gue pengen nge-confess." Kata Sehun pas udah ketemuan sama Sejeong.

Jadi tadi Sehun udah telfon Sejeongnya, minta ketemuan ditaman belakang fakultas Kedokteran, biar Sejeongnya ga kejauhan.

Mungkin Sejeong udah keGR-an, karena mikir dipeduliin Sehun. Atau mungkin enggak.

Ga tau. Gue mager mikir.

"Soal apa?" Tanya Sejeong.

"Gue ga nyaman lo deketin," jawab Sehun singkat, padat, jelas.

Ga pake basa-basi. Langsung digas.

Padahal, pas latihan, gue ngajarinnya engga kayak gini.

Bisa dibilang; ini out of planning.

"Ke-kenapa?"

"Gue risih juga lama-lama, lah. Lo ga kayak orang lain yang cuma merhatiin dari jauh. Atau cuma support dari jarak tertentu," kata Sehun ngeluarin unek-uneknya. "Lo udah ngelewatin garis batasnya, Jeong."

Sejeong masih diem.

Mungkin shock.

Dikiranya mau ditembak. Atau seengganya diajak makan siang bareng.

Ternyata doi cuma mau bilang kalau dia risih ):

"Kenapa diem?" Tanya Sehun. "Ayo ngomong. Biar sekalian ga ada yang dipendem lagi."

Sehun ngomong santai banget.

Kayak ga mikirin Sejeongnya masih kaget atau gimana.

"Hun, pelan-pelan," kata gue akhirnya angkat bicara.

Capek diem mulu. Jadi penonton doang.

Macem tai ayam disepatu. Ada. Kecium. Tapi ga dipeduliin.

Engga, deng. Gue kalau tai ayam kena sepatu, ya, sepatunya dibersihin, lah. Goblo ):

"Ta-tapi kenapa lo baru ngomong sekarang? Kenapa baru risih sekarang? Kenapa baru nge-confess sekarang?" Tanya Sejeong. Matanya udah berkaca-kaca.

"Karena ... gue baru sadar, kalau selama ini Luhan ga nyaman karena elo."

Acu auto-shocked.

Kenapa gue jadi dibawa-bawa?

Sejeong ngeliatin gue. Terus air matanya jatoh, ngelewatin bibirnya, terus terjun bebas dari rahangnya.

"H-hun, H-an ..." panggil Sejeong. Suaranya sampe geter-geter gitu. "Gue punya alesan yang kuat, kenapa selama ini selalu ngedeketin Sehun; dengan cara yang agresif." Air matanya makin deres jatoh.

Akhirnya gue ajak dia duduk, karena daritadi emang kita berdiri. "Ya, udah. Sambil duduk aja ceritanya."

Terus kita bertiga duduk dibangku yang ada ditaman itu. Posisinya Sehun disebelah kiri, gue ditengah, dan Sejeong disebelah kanan.

"H-han ... janji. Setelah ini, lo ga akan jauhin gue." Kata Sejeong, yang mulai terisak-isak gitu.

Dia bener-bener nangis sekarang. Meskipun ga ngeraung-raung bikin rame, tapi gue cukup peka kalau dia emang nanggung beban yang berat.

"Iya. Tenang aja. Gue bakal selalu jadi temen lo,"

Sehun pindah jadi duduk dibawah. Dia jadi ada ditengah-tengah kaki gue dan Sejeong.

Mungkin mau ngeliat Sejeong. Meskipun gue bisa ngerasain tatapan intensnya buat gue.

"Gu-gue ... lesbian, Han," katanya. Dan langsung nangis sekejer-kejernya.

Dia mulai meluk gue. Beberapa waktu kemudian baju bagian bahu gue, yang dia singgahi, basah kuyub karena airmatanya.

"Terus kenapa, Jeong-ie?" Gue sok-sokan manggil pake panggilan manis supaya dia tau; kalau dia ga sendiri.

"Gu-gue malu. Ke-keluarga gue ju-juga pasti malu. Hiks. Gue u-udah coba sebisa mu-mungkin buat balik no-normal." Katanya. Sesegukannya makin parah. "Penyimpangan orientasi seksual ini ... ga bisa gue sangkal, Han,"

Sehun masih setia ngeliatin muka gue.

Muka dia bikin gue jadi ga konsentrasi dan ngancurin suasana mellow ini tau ga?

"Iya, Jeong-ie. Gue ngerti." Engga. Gue bohong. Gue ga ngerti. "Lo ga sendiri. Ada gue, dan Sehun disini."

Gue bisa liat Sehun mendelik karena namanya gue sebut. Tapi bodo amat.

Kayaknya Sejeong bener-bener butuh semangat tambahan buat kasus ini. Dan gue akan dengan senang hati ngelakuin itu buat dia.

Gue ini meskipun cuek, tapi bisa peduli juga, kok.

Kadang.

Kalau inget.

Ex +hunhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang