“Sekali-kali itu jadi stalkernya buku, jangan hanya stalker sosial media mantan yang gak guna itu”
Setiap orang memiliki sebuah cita-cita, atau bahkan banyak cita-cita. Namun, untuk menggapai cita-cita itu, diperlukan pengorbanan dan tekad yang besar. Banyak sekali orang-orang tak konsisten dengan cita-citanya, cita-cita yang dulu sangat diimpikannya. Akan tetapi, disaat ia telah dewasa,ia melupakan dan bahkan mengabaikan cita-citanya.
Dahulu, ia sangat berbicara begitu besar dengan cita-citanya. Ia menunjukkan kepada semua orang, bahwa ia akan menjadi dokter yang baik, sampai-sampai ia pun mengikuti dokter cilik di sekolahnya dulu. Namun, alhasil disaat ia menginjak remaja awal. Di sekolahnya, ia menemui seorang petugas yang akan menyuntiknya, awalnya terasa biasa saja hingga seketika setelah jarum suntik terlepas dari lengannya, ia mulai meneteskan air dari matanya dan berbisik “gila, sakit buk”. Dan dari situlah, seketika cita-citanya yang telah ia ceritakan ke semua orang terutama kedua orang tuanya itu pupus.
Seketika itu ia sama sekali tidak ingin menjadi seorang dokter, karena dia takut. Hanya itulah alasan sampai ia dewasa pun tak ingin dan tak memiliki hasrat untuk menjadi seorang dokter kembali. Begitu lelah bukan? Jika harus memilih kembali cita-cita yang baru. Yang harus tertenam kuat dalam jiwa dan raga, dan menaruh persepsi serta prinsip bahwa cita-cita bukanlah sebuah permainan namun cita-cita ialah salah satu penentu masa depan.
Bagiku, cita-cita tak perlu tinggi. Tak perlu menghabiskan uang banyak untuk menggapainya. Ya, jika seseorang itu memiliki tanah, rumah, ladang, dan uang yang banyak. Mungkin saja ia dapat menguasai segalanya.Namun, ingatlah! Bahwa segalanya itu tak dapat dibanggakan. Aku memiliki banyak cita-cita, dan aku sangat ingin menjadi wanita karir. Cita-citaku yang pertama adalah menjadi seorang GURU. Keinginan ku menjadi seorang guru ialah karena aku terinspirasi disaat aku menginjak SMA.
Awalnya aku sangat ingin menjadi guru bahasa Arab, maka dari itu aku mencari universitas islam agar aku dapat melanjutkan pendidikan di jurusan Bahasa Arab. Namun, takdir tak dapat ku tolak. Aku tidak lolos di Universitas Islam favoritku. Bagaimana perasaan kalian jika hal itu terjadi pada kalian? Kecewa, sedih, marah, kesal, campur aduk kah? Ya, semua itu pasti kalian rasakan, dan aku pun juga merasakan. Ketika aku harus menjalani hari-hariku dengan berkuliah di Universitas yang sebenarnya aku tak terlalu minat disana. Dan jurusan ini adalah pilihan kesekian ku untuk menggantikan pilihan utama dan keduaku.
Ya, aku hanya bisa menjalaninya. Aku tak dapat mengubah sebuah takdir yang telah ditetapkan-Nya.Mau tak mau aku harus mencoba, aku berusaha untuk menggali lebih dalam apa yang dapat kutemukan di jurusanku. Aku mengambil jurusan S1 psikologi, dan aku lebih terbelalak lagi ketika ternyata psikologi termasuk dalam Fakultas Kedokteran. Sungguh, sebagai alumni anak IPS aku sangat kaget menyaksikan segalanya. Seketika aku langsung down, dan aku menjudge jurusanku, aku menyalahkan diriku sendiri, dan seketika aku tak ingin bangkit tuk belajar.
Sebegitunya diriku disaat aku benar-benar tepuruk. Untuk cita-citaku menjadi seorang guru bahasa Arab pastinya tak tercapai, namun aku sudah dapat menggapai cita-citaku menjadi seorang guru ngaji. Menjadi seorang guru ngaji telah lama ku tekuni disaat kelas 2 SMA hingga saat ini. Aku telah memaksimalkan kemampuan apa yang aku punya, and thank’s for God itu sesuatu hal yang menghasilkan dan dapat membantu biaya pribadi tanpa harus meminta-minta kepada orangtua.Disaat waktu itu aku terpuruk, dan seketika matahari menyinari hari-hariku dan membuatku kembali bangkit dan berkata “aku bisa, pasti bisa dan selalu bisa”. Dan disaat itu pula mulailah otak-otakku berjalan dengan baik dan jernih. Ku mulai melangkah, ku ikat rapat-rapat dalam otakku bahwa suatu saat aku akan mendapatkan dan bisa mewujudkannya. Karena selain cita-citaku menjadi seroang guru, begitu pula dengan jurusan kuliahku adalah psikologi maka cita-cita keduaku adalah menjadi psikolog anak yang lebih menekankan pada aspek pendidikan. Entah suatu saat itu tercapai atau tidak, yang terpenting ialah mencoba, berdoa dan berusaha. Dan aku memiliki sebuah impian besar, di mana impian tersebut aku kategorikan sebagai cita-citaku. Impian tersebut ialah aku dapat memiliki rumah sendiri di Bali, dan di dalam rumah tersebut terdapat sebuah perpustakaan.
Dari sana, aku akan mengajak anak-anak dari berbagai kalangan, terutama anak yang tidak mampu sampai kurang mampu untuk bersekolah. Maka, dari kesempatan yang ada tersebut aku akan membantu mereka untuk belajar membaca, menulis, berhitung serta bermain bersama. Dan kemungkinan besar, aku pun juga ingin membangun sekolah kecil dengan konsep yang menarik.Ada satu lagi impianku yang saat ini sangat aku tekuni, yaitu menjadi penulis terkenal. Ya, itulah impian dan cita-citaku. Bagaimana dengan cita-cita kalian? Semoga saja segera terwujud ya, sukses selalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menjemput Masa Depan Dibalik Nama dan Impian [SELESAI √] WATTYS2020
Teen FictionKetika seorang Ananda menapaki jalan hidupnya dengan setumpuk cita-citanya yang harus ia raih. Bagaimana ia menjalani hidupnya dengan menemukan berbagai rintangan sebesar apapun tetap ia terjang, dukungan-dukungan yang ia dapatkan adalah salah satu...