20. Memikirkanmu

121 25 25
                                    

       Omer tersenyum tipis. “Aku baik-baik saja.”

Nice to meet you.” Mevva tersenyum lebar, hendak mengulurkan tangan untuk berjabatan.

Omer membalas jabatan itu. “Me too.”

Mereka melepaskan jabatan tangan.

Mevva menyipitkan matanya, merasa mengenali pria itu, akan tetapi ia bingung bagaimana bisa merasakan hal yang demikian. Omer berharap gadis itu mengenali kakaknya dan bisa pulang bertemu dengan ibunya.

“Aku akan menemui dokter dulu untuk menanyakan kapan Omer boleh dipulangkan.” Alina tiba-tiba bersahut, tersenyum lebar.

Mevva dan Omer menganggukkan kepala. Tak lama kemudian, Alina pun pergi meninggalkan mereka berdua dalam satu ruangan itu.

Kini hanya ada Mevva dan Omer berdua.

Suasana hening.

Mevva kebingungan ingin membahas apa. Diam. Tidak enak bila suasana hening ini berlama-lama ada di ruangan mereka berdua diami, dia tidak ingin membuat Omer bosan. Akhirnya, Mevva pun mendengkus dan mulai berbicara.

“Kala itu Alina menceritakan kejadianmu padaku. Bisa katakan padaku, mengapa itu terjadi? Mungkin kalau kau ada masalah yang membuatmu seperti itu ... hm, mungkin aku bisa membantu.”

“Tidak. Terima kasih,” ujar Omer.

“Hm, oke.” Mevva tersenyum, kemudian duduk di dekat Omer. “Ucapanmu yang itu mengingatkanku pada Kakakku. Dia selalu bilang ‘Tidak. Terima kasih’ ketika aku menawarkan sesuatu padanya ... yah, bisa dibilang bantuan seperti ini.”

Omer hanya tersenyum, senang karena Mevva masih mengingat kakaknya, meskipun sang kakak ada di hadapannya.

Tak lama kemudian, Alina datang masuk ke ruangan Omer dirawat. “Omer, kau besok diperbolehkan pulang oleh dokter. Dokter mengatakan kalau kau baik-baik saja, hanya saja ... mungkin punggungmu itu. Kau bisa berlatih jalan setelah ini.”

“Aku memang baik-baik saja. Besok aku sudah sembuh walau sedikit,” kata Omer.

“Baiklah, baik.” Alina membulatkan mata, menyilangkan kedua tangan. “Ngomong-ngomong, bagaimana rasa kue kacang buatanku? Aku membuatnya sendiri, dan kebetulan itu untukmu.”

“Kau membuatnya sendiri? Keren! Sangat enak. Kau sama seperti Hasret yang pandai membuat kue!” puji Omer.

Alina dan Mevva hanya tertawa kecil, sementara Omer hanya tersenyum tipis sambil mengingat Hasret-nya.

______

      Di sisi lain, Hasret hanya terus-terusan menangis tanpa suara sambil berbaring di atas ranjang. Selalu takut, tidak nyaman bila tidak ada suaminya yang menemaninya.

 Selalu takut, tidak nyaman bila tidak ada suaminya yang menemaninya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
DevotionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang