24. Ayah

147 23 13
                                    

        Tak lama kemudian, Kaan kembali memasuki kamar Hasret. Langsung tersenyum saat melihat penampilan Hasret yang begitu menawan dengan mengenakan gaun merah yang diberikan Laksh—ayah Hasret—melalui dirinya. Ia memastikan kalau Hasret tidak boleh menangis di hari ini, sekarang Hasret tampak bahagia. Sedikit.

Hasret menghampiri Kaan, tersenyum semringah. “Aku tidak menyisir rambut. Maafkan aku kalau ... ada sesuatu yang aneh pada rambutku.”

“Tidak masalah. Ayo,” ajak Kaan keluar dari kamar ini.

Hasret menuruti apa yang dikatakan Kaan, merasa aneh kali ini. Ah, ia harus mengikuti petunjuknya, ingat apa yang dikatakan Omer kala itu.

“Mungkin kau akan tahu setelah permainan dari keajaiban itu telah berakhir, dan ini adalah permainan yang harus kita mainkan.”

“Yakinlah, kita pasti bisa mendekati pelakunya.”

Hasret rasa Omer benar; dia terjebak dalam permainan yang begitu sulit, dia harus memainkan permainan itu bagaimana pun juga melalui perkataan Omer.

______

    Yamaz sedang mengendarai mobil tanpa tujuan. Ia bosan sekali hari ini, ingin menghabiskan bensin hanya untuk berjalan-jalan. Dia menghilangkan rasa sakit karena telah menyakiti Rubiya tanpa berpikir dulu sebelumnya.

Dalam perjalanan, tak lama kemudian, sebuah ponsel bahana di laci mobil

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dalam perjalanan, tak lama kemudian, sebuah ponsel bahana di laci mobil. Sebenarnya ia malas melakukan apa pun, dan akhirnya ia mengangkat telepon dengan malas.

“Yamaz, aku merindukanmu. Bisakah kau datang untuk menemuiku kali ini? Aku ingin bicara sesuatu padamu ... ya, sekaligus jalan-jalan. Boleh, kan?”

“Kau sudah membuat banyak kesalahan, Emine, tapi kau masih saja bicara dengan santainya. Ada apa?”

“Aku tidak bisa berbicara santai sekarang sebab ini perkataan yang penting.”

“Kalau itu maumu, oke. Aku akan datang.”

“Thanks, Yamaz!”

______

      Alina datang dari Bursa ke Istanbul hanya untuk menemui ayahnya di Perusahaan Irmak, ingin bicara sesuatu padanya, dan itu menjadi hal yang mengejutkan buat Laksh.

“Ayah,” sahut Alina melirih.

“Kau? Mengapa kau kemari, Nak?” gumam Laksh memekik.

“Apa maksud Ayah? Ayah ada masalah, kan? Kenapa ayah tidak mengatakan apa-apa padaku kala itu?” Alina berkaca-kaca di hadapan sang ayah.

DevotionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang