21. Rindu Kita

136 21 6
                                    

      Yamaz menghampiri Rubiya yang sedang duduk menangis. Diam melihat gadis itu demikian. Merasa bersalah karena membawa gadis itu terlibat di dalam masalahnya. Ia menghela napas panjang, duduk di hadapan gadis itu.

“Rubiya ...” Yamaz belum berbicara apa-apa, Rubiya langsung berkeriau di hadapannya.

“Apa? Kau sudah puas melihatku kini rusak sekarang? Hidupku rusak karena dia telah menyebutku sebagai perebut suami orang! Entah mengapa aku muak dengan orang-orang yang suka bermain settingan dengan cara menghancurkan hidup orang lain!” Rubiya me...

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Apa? Kau sudah puas melihatku kini rusak sekarang? Hidupku rusak karena dia telah menyebutku sebagai perebut suami orang! Entah mengapa aku muak dengan orang-orang yang suka bermain settingan dengan cara menghancurkan hidup orang lain!” Rubiya mengusap air matanya, kemudian bangkit dari kursinya. “Aku membencimu, aku benci Emine, dan ... aku benci semua!”

“Rubiya, tunggu dulu!” Yamaz bangkit dari kursi, hendak mencegah gadis itu pergi dan mulai mendengarkan penjelasannya. Namun bagaimanapun juga, gadis itu tidak peduli, tetap pergi meninggalkan Yamaz sendirian.

Yamaz kesal.

Langsung memukuli meja di hadapannya untuk meluapkan rasa amarahnya.

______

     Sementara di kamar penyekapan Hasret, Kaan datang ke kamar itu dengan membawa makanan untuk Hasret. Ia membuka kunci kamar, berdiri di ambang pintu, heran melihat gadis itu—duduk di atas ranjang sambil memeluk lututnya—sedang tersenyum seperti sedang mengkhayali sesuatu. Ia masuk ke dalam, kemudian meletakkan makanan itu di atas rak meja yang ada di samping ranjang.

“Nona Ilgas, makanlah dulu. Aku membawakan ini untukmu.” Kaan memandang gadis itu.

Hasret kembali murung, menoleh perlahan ke hadapan pria itu. Sinis. “Aku tidak mau menerima apa pun yang kaubawa, kau tawarkan untukku.”

“Apakah aku harus terus menyekapmu dalam keadaan kelaparan?” Kaan memandang tak kalah sinisnya dari Hasret.

“Sudah kubilang kalau aku tidak mau!” Jemari Hasret mengarah ke rak meja itu, kemudian menyapu kasar makanan itu dengan kasar hingga jatuh ke lantai berserakan di mana-mana. “Sebaiknya kau pergi dari sini!”

Kaan kesal, langsung meninggalkan Hasret dari ruangan ini. Hasret melihat Kaan kembali mengunci pintu, kemudian kembali memeluk lutut, bahkan menundukkan kepala di atas lutut. Menangis.

______

    Malam harinya di Bursa, Alina dan Omer berjalan-jalan di ujung taman. Mereka sedang menikmati angin malam yang membelai dirinya masing-masing. Alina menceritakan kisah hidupnya.

“Aku, Ibu, dan Ayah tinggal bersama di Istanbul. Kami menikmati masa-masa indah saat itu. Namun, sekarang tidak ada hal itu lagi dalam hidupku.”

“Bagaimana bisa?”

“Ayahku menyuruhku untuk tinggal di Bursa untuk sementara waktu, tapi ternyata lama juga, sampai aku tidak bisa menghabiskan masa belajarku di SMA karena demikian. Aku merindukan Ayah—Ibuku.”

DevotionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang