19: Rasa Takut Kehilanganmu

1.7K 453 30
                                    

Petrified is another way of realizing.
In the mid of realizing, heart goes to its own place with its own will.

|

❤🌞🍉

S e m b i l a n
b e l a s

|



Irene membuka mata, posisinya masih berbaring di kasur lengkap dengan balutan selimut.

Masih gelap. Dan itu tengah malam. Tapi rasanya, Irene sudah tertidur lama sekali. Atau... hari kah yang terasa lambat?

Mengintip dari celah pintu, Irene mendapati tubuh Vante yang sedang tidur di sofa. Kembali ke kamarnya, gadis itu menyeret selimut dan memberikannya pada Vante. Pelan dan lembutㅡsupaya pria itu tidak terbangun. Irene merasakan napas hangat menjalar di lengannya, tanpa sengaja tatkala menarik selimut sampai leher Vante.

Tunggu. Dia demam?

Irene buru-buru menyentuh dahi Vante yang penuh keringat.

Benar saja. Si menyebalkan ini jatuh sakit. Akhirnya tengah malam itu Irene menghabiskan waktu merawat Vante. Bolak-balik mengganti kompresan air dan menggunakan semua persediaan yang bisa digunakan untuk menghangatkan Vante.

Irene menghela napas sebelum mendaratkan bokongnya di lantai, menghadap wajah Vante yang terlelap.

"Kenapa sakit, sih?" Dengus Irene.

Jangan sakit.

Entah berapa lama ia menatap wajah Vante yang basah, lama-lama ikut terlelap, tertidur di lantai dengan posisi kepala di sofa, tepat di sebelah kepala Vante.

Fajar mulai menyingsing, suara alarm ponsel Irene yang menunjukkan jam 5 berdering. Cukup nyaring untuk membangunkan Irene dan melonjak salah tingkah tahu-tahu menyadari apa yang ada di hadapannya. "Oh, astaga. Bisa-bisanya aku tidur di sini."

Di sebelah dia pula.

Tungkai Irene bergerak pelan, namun sebelum benar-benar pergi dari sana, tangannya dicekal lemah oleh Vante yang setengah sadar.

Irene bisa saja melepas genggaman lemah itu. Tapi Irene tidak sempat melakukannya karena Vante tahu-tahu sudah menegakkan punggung dan menarik tubuh gadis itu. Dan dalam hitungan singkat, bersama jantung yang bertalu hebat, Irene dipeluknya.

"Seperti ini. Sebentar saja," bisik pria itu, mengistirahatkan kepalanya pada bahu Irene.

Irene menahan napas gugup. Ia dapat merasakan napas panas milik Vante di ceruk lehernya. Pria itu mengeratkan pelukannya di perut Irene yang hampir dipenuhi kupu-kupuㅡatau mungkin sudah. Apalagi saat Vante berbisik lemah,  sukses membuat bulu kuduk Irene meremang.

"Aku mau bubur. Buatkan."

"Bahkan saat sakit, kau tetap saja menyebalkan."

Meski tak melihatnya, Irene yakin Vante tersenyum di belakang sana dengan pelukan yang semakin erat. Satu kali lagi, ia berusaha mengancam, "Mana bisa masak bubur? Lepaskan dulu tanganmu dari sini."

"Tidak akan. Tidak mau."

Astaga. Kok rasanya Irene jadi sedang mengurus bocah yang sedang manja-manjaan dengan ibunya.

"Jadi buburnya batalkan saja, ya?"

"Tidak boleh," Vante menggeleng. Irene dapat merasakan gesekkan rambut pemuda itu di punggungnya yang hanya terbalut kaos tipis.

"Terus bagaimana memasaknya?"

"Sulap."

Ugh. Sebersit penyesalan lewat di benak Irene. Harusnya dibiarkan saja anak ini sakit semalam, "Sulap kepalamu. Dasar menyebalkan."

Vante tidak menggubris, selain mengeluarkan sebuah kekehan yang nyaris tak terdengar, "Terima kasih."

Dan tidak bersuara lagi sehabis itu. Tidur lagi.

Irene mengerling sebal pada Vante. Seenaknya sekali. Memeluknya seperti ini, bersandar di punggungnya, minta dibuatkan buburㅡpakai sulap. Dan tidur lagi. Hebat.

Tapi, biarkan lah seperti ini. Sebentar saja. Lagipula, kurang dari 2 minggu lagi layanan komunitas ini berakhir.

Itu artinya, mereka tak punya alasan lain untuk bertemu satu sama lain. Irene tidak ingin mengakui bahwa muncul rasa takut di dalam sana. Saat semuanya berakhir, Irene akan melanjutkan studi beasiswanya di Inggris.

Irene Bernice mungkin takkan melihat Victorius Vante lagi. []

_____________

(Fin.)

Note:
Iya udah tamat.







Canda.

He he.

✔ Summer Flavor | salicelee.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang