5: Rasa Bersalah (Bagian Dua)

2.8K 629 33
                                    

From now, I'm here without knowing, those melodies I sing like I know.

|

❤🌞🍉

L i m a

|





Di sinilah Vante berada. Duduk satu baris di belakang, bersilangan dengan barisan yang diduduki Irene.

Pria itu mengitari pandangan, memerhatikan Irene yang tengah menyandarkan kepala di kaca bus dengan mata terpejam. Kelelahan.

Tanpa disadari tatapan pria itu terus terpaku pada sang gadis.

Rambut hitam panjang milik Irene menutupi sebagian paras cantiknya, meski terlihat berantakkan, kecantikannya tidak berkurang.

Setiap bunyi bel dari penumpang yang ingin turun di titik tujuan akan mengejutkan dan membuat Irene terjaga. Mata gadis itu akan otomatis melirik papan elektrik yang terpajang di tengah bis. Tapi selama itu masih bukan titik tujuan 5, gadis itu akan kembali memejamkan mata untuk istirahat sejenak.

Dan ini yang sudah kedua kalinya Irene terbangun karena dengungan lonceng listrik tersebut.

Di lain sisi, ego Vante sudah terus mengatakan untuk mengabaikan; bahwa ia di sini hanya untuk menjawab rasa penasaran mengenai pekerjaan tengah malam sang gadis. Namun siapa sangka, tahu-tahu ia sudah mengikuti setengah dari keseharian Irene Bernice.

Maka untuk kali ini, ia tidak perlu bergerak hanya supaya gadis itu bisa tidur tenang, 'kan?

Tepat saat kalimat dalam angannya berakhir, bel ketiga berbunyi. Membuatnya mengerang secara mental. Vante tak bisa tidak peduli.

Awalnya dia ragu-ragu untuk melakukan ini.

Ia sendiri juga bingung faktor apa yang sebegitu kuat mendorongnya untuk melakukan hal ini. Ini tidak biasa. Atau bahkan lebih mirip kemustahilan.

Pasti kau sedang kerasukan, bung. Kau sedang kesetanan.

Pria itu menutupi wajahㅡdengan masker hitam dan hoodie hitam andalannyaㅡsebelum ia menghampiri Irene yang sedang terlelap.

Kemudian dengan lembut menyibak rambut Irene dan hati-hati menyelipkan pucuk earphone ke dalam telinga gadis itu.


You, you're all of what is me

Alunan melodi lagu One Heart dari band Saltnpaper terputar tepat begitu Vante menekan tombol acak di sebuah ipod kuno berwarna silver dengan sticker smiley kuning (plus, stiker kelinci yang tadi ia temukan dari dalam paper bag Irene.)


ㅡIt's something you can't see
It's only in our hearts

Lalu Vante kembali duduk di tempatnya sambil memantau bel untuk Irene, menggantikan sang gadis yang tengah terlelap.

Sedikit demi sedikit, kepuasan menelusup hati saat ia melihat gadis itu tidak terjaga ketika bel di titik tujuan keempat berbunyi. Seulas guratan senyuman tipis muncul di wajahnya.

The heart cannot lie

It cannot lie~


Dengung bel listrik yang kelima. Pertanda bahwa Irene telah sampai pada tujuan.

Sebenarnya agak tidak tega membangunkan Irene, tapi mau tak mau dia harus menepuk bahu Irene sampai gadis itu sadar, kemudian buru-buru keluar, berharap aksinya tidak pernah ketahuan.

Maka seusai si pemuda turun agar Irene tak menyadari keberadaannya, dia hanya berdiri di halte bus, berpura-pura sibuk menunggu orang lain.

Meski begitu, bola matanya mengekori kemana destinasi gadis ituㅡyang sekarang tiba-tiba berlari setelah melirik jam tangan.

Dikarenakan rasa ingin tahu yang terlalu tinggi, ia berjalan pelan secara sembunyi-bunyi, membuntuti destinasi Irene.

Sial. Tunggu, tunggu. Kenapa semakin lama ia bertingkah seperti seorang penguntit?

Bukan, bukan. Hanya agak khawatir jika gadis ini ceroboh atau mengalami masalah di tengah malam. Vante mencoba sugesti diri.

Oke tuan, ini bukan dirimu. Kau bukan tipe yang akan peduli dengan gadis asing yang kau tak kenal baik. Batinnya lagi-lagi keras bergejolak.

Seolah melawan dirinya sendiri, batinnya yang lain bersabda, mengingatkan bahwa Irene bukan gadis asing. Ia memiliki hutang pada Irene. Jadi anggap saja ini untuk mengurangi rasa bersalahnya.

Pria itu melirik jarum jam yang membentuk hampir garis lurus. Waktu telah menunjukkan pukul 11 malam lewat. Dan Irene Bernice baru saja memulai shiftnya sebagai pelayan di kedai kopi 24 jam.

Memangnya tidak ingin tidur apa? Benak pria itu tak habis pikir.

Gadis itu mengumbar senyum cerah setiap mengantar kopi. Dengan cekatan ia juga mendistribusikan makanan pemanis seperti chocolate lava cake atau cheese cake, membersihkan asbak rokok, seolah-olah energinya tidak pernah habis.

Dilihatnya beberapa kali Irene berbalik belakang dan menunjukkan gestur menutup mulut dengan bahu yang sedikit terendik.

Meskipun suara itu tak terdengar jelas, ia yakin gadis itu tersedak asap rokok dan terbatuk.

Astaga, Irene Bernice. Berhentilah bekerja seperti orang gila. []

_______

Note:
Suka banget sama lagunya. Worth to listen! Harus banget cek lagunya.

"One Heart" by Saltnpaper.

|

[Cerita Summer Flavor sudah tamat. Sebagai pembaca yang budiman, harap meninggalkan jejak 👍]

|

✔ Summer Flavor | salicelee.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang