"Jennie, masih berapa lama?" Vante tak henti menggedor pintu kamar mandi. Sudah 30 menit dan bocah SMP itu masih belum keluar juga. Masalahnya 30 menit itu, Jennie tidak bersuara. Maksudnya, kenapa tidak ada suara air mengalir atau bunyi cipratan air dari gayung.
Mencurigakan. Dan sedikit seram.
"Kamu sedang apa di dalam, Jen?" Tanya Vante dengan suara lembut. Dibuat lembut sebenarnya. Tahan, tahan.
Ia takut mengompol. Sumpah. Demi apapun.
"Jennie, kakak kebelet, nih. Aduh, jangan dikerjain, dong."
Tapi, Jennie tak kunjung merespon. Sampai hati Vante mulai merasakan perasaan aneh yang tak enak.
Sial. Jangan-jangan Jennie pingsan di dalam sana?
"Kamu pingsan, ya?! Halo? Jennie?"
Nihil suara. Wah, gila. Jantung Vante langsung menggebu tak karuan. Mau bagaimanapun juga, Vante bisa khawatir kalau gadis yang sudah dianggapnya seperti adik kandung sendiri ini sakit atau apalah. Belum lagi, kalau sampai Ireneㅡpacarnya, yang baru 2 bulan berada di Londonㅡtahu soal Jennie sakit. Bisa jadi Vante dipanggang bersama kentang dan brokoli.
Jadi berusaha memberanikan diri, Vante menyahut kencang. "Jennie? Kakak dobrak, ya?"
"Satu... duaㅡ"
"J-JANGAN!"
Eh, loh?
"Jangan didobrak, Kak..."
"Kamu kenapa?"
Sebelum membalas, gadis itu sempat terdiam beberapa detik. "Kenapa Kak Vante harus berkunjung sekarang, sih..." gerutunya frustasi.
Vante bingung. Salah dia apa lagi. Apa salahku, Tuhan? Salah melulu.
Pagi ini, dia kemariㅡberkunjung untuk melihat Jennie. Sekaligus membawakan pizza favorit anak itu. Kenapa malah diberi attitude begitu, sih?
Ini pertama kalinya Vante melihat Jennie yang seperti ini. Biasanya anak ini super santai dan tidak repot. Tapi hari ini, Jennie Bernice seperti ibu-ibu lagi PMS. Marah sana sini dan tiba-tiba ngacir ke kamar mandi dan tidak kunjung keluar. Apa, sih? Sembelit?
"Maaf, Kak Vante. Nggak bermaksud nggak sopan," imbuh anak itu tiba-tiba.
"Iya, kenapa? Ada apa? Bilang kakak."
Jennie bergumam ragu. Entah berapa kali hemm dan humm sudah dikeluarkan gadis itu. Sumpah, ya. Ini pipis Vante sudah di ujung. Mendengar kompilasi hemm dan humm itu benar-benar membuatnya semakin ingin buang air kecil.
"Kak Vante..."
"Iya, apa? Buruan, Jen. Sumpah. Kakak nggak kuat."
"Tapi, Kak... aku... aduh, bagaimana ngomongnya, ya?"
"JENNIE!!"
"B-b-beliin pembalut, dong, Kak!" Respon Jennie super cepat.
Hah? Jennie bilang apa tadi?
"Tolong," tambahnya malu. Super malu. Mungkin saking malunya, Jennie takkan mau melihat satu inci wajah Vante sekalipun sehabis keluar dari toilet. Semalu itu.
"P-pembalut?" Tanya Vante setengah kaget. Agak bingung. Kepalanya kosong, hanya ada gema pelan di benak. Pembalut?
"I-iya, Kak. Bocor..."
"Haduh, haduh. Ya sudah. Kakak beli."
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.Vante menatap kosong pemandangan membingungkan yang disuguhkan rak di supermarket. Satu deret produk pembalut. Bungkus cantik nan lucu warna-warni. Embel-embel sayap berkerut atau apalah yang tidak Vante pahami.
Sumpah. Kalau hari ini dirayakan, Vante akan menamai hari ini sebagai, Hari Terlihat Bodoh Nasional.
Ini harus beli yang mana? Apa lebih baik dia tanya Irene saja, ya? Tidak, tidak. Nanti pasti diomeli.
Argh! Pipis, bersabarlah!
Oke, oke. Cepat cari bantuan. Vante melirik karyawati yang berlalu lalang dengan was-was. Mau tanya tapi mendadak ia urungkan niatnya sebab pipinya muncul semburat merah. Hampir semerah apel ranum yang siap dipetik.
Kenapa beli pembalut aja malu, sih?
Tak kunjung mendapat cara lain dan menyerah, pria itu pun sudah tak mau berpikir lagi, akhirnya dia mencomot asal 5 bungkus pembalut dengan kemasan warna warni yang sekiranya dipakai untuk remaja. Kemudian melenggang pulang dengan memikul rasa malu yang bercokolㅡsampai menepuk jidat.
Diingat, ya. Hari ini tanggal berapa. Ini hari pertama Vante beli pembalut buat anak cewek. Ayo dihistorikan, pujinya sarkas pada diri sendiri sementara motornya sedang melaju bagai The Flash.
Ah, asem. Dari kebelet pipis sampai lupa.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
."
Kak Vante, terima kasih. Tapi ini pantyliner," ujar Jennie menyembul dari balik pintu, membuat Vante mengerut alis dengan wajah polos dan meloloskan satu pertanyaan paling bodohㅡyang hanya dipahami kaum hawa.
"Iya, terus?"
"Nggak... nggak apa-apa, Kak," Jennie tersenyum paksa.
"Trims," pintu kamar mandi tertutup.
Hah? Vante salah lagi, ya?Notes:
Siapa yang kalau minta pembalut sama teman, ngopernya udah kayak transaksi narkoba? HAHAHA
KAMU SEDANG MEMBACA
✔ Summer Flavor | salicelee.
Fanfiction《COMPLETE》 《FOLLOW SEBELUM BACA! DIPRIVATE. 🔒》 Image Irene Bernice sebagai Ambasador Kampus hancur seketika! Semua gara-gara mahasiswa bernama Victorius Vante Kim yang menciumnya karena sebuah sticky notes bertuliskan "1 treat = 1 kiss" yang entah...