12: Rasa Dekat? (Bagian Dua)

2.1K 499 12
                                    

Cheeks flushed with embarrassment,
myself which founded by you.

|

❤🌞🍉

D u a
b e l a s

|

Irene, yang sedang menyantap sereal, mempercepat suapan setiap nama Vante muncul di kepalanya. Ia pusing, bingung, heran. Baru saja ia merasa lebih mengenal pria itu, tapi ternyata tidak. Tiada kata 'mengenal' Victorius Vante.

Memang benar kutipan kemarin; jangan pernah membuat ekspektasi untuk Victorius Vante! Ia adalah alien yang tak bisa ditebak.

Alun-alun pikirannya bersorak heboh sana-sini, terutama momen seusai perbincangan konyol semalam.

Irene dengan gusar langsung ke kamar, tidak mengindahkan 'tantangan' yang disimpulkan seenaknya oleh Vante. Irene sangat yakin, dibalik punggungnya yang menuju kamar, Vante pasti sedang berpesta karena berhasil membuatnya bungkam dan jengkel.

Kemarin malam Irene yakin sekali, Vante pasti sedang mengoloknya.

Irene tidak mau peduli soal hal kecil seperti itu. Dia punya banyak hal penting yang bisa ia pikirkan, misalkan cara menendang Vante dari penginapan ini, atau membuat Vante tidur di ruang tamu. Karena jujur saja semalam merupakan malam pertama yang mereka lewati berdua di Daegu.

Tunggu dulu! Malam pertama?

Kenapa terdengar ambigu sekali? Sebenarnya, bukan malam seperti itu maksud Irene.

Well, faktanya, tadi malam mereka memang tidur bersama.

Lebih tepatnya tidur bersama di satu-satunya ruangan yang memiliki pendinginㅡterpaksa, sebenarnya. Vante bilang ia lebih baik mati saja daripada tidur di ruang tamu dengan keringat bercucuran. Irene tentu tidak peduli dan mengusir Vante habis-habisan.

Lalu saat Irene mau buang air kecil di tengah malam, Vante sudah tertidur pulas beralaskan keramik di sudut kamar, berjarak kurang lebih 2 meter dari ranjangnya! Itu sangat mengagetkan dan sangat gila!

Irene akhirnya mencoba tidur sambil menendang sejuta pikiran aneh yang bersemayam di kepalanya. Astaga. Mana bisa tidur!

Bisa-bisanya alien itu damai terlelap, sedangkan Irene tengah berperang sendiri.

Bahkan Irene sudah coba berhitung satu domba, dua domba, sampai seratus tujuh puluh sembilan domba. Hasilnya sia-sia. Irene benci ketidak berdayaan ini.

Lalu dengan mata panda di wajahnya yang lesu, ia berjalan ke arah Vante yang tertidur di lantai, hendak memberikan satu-satunya bantal yang ada di kamar.

"Buat kau saja lah," Irene mendesah jengkel.

Sebenarnya tidak rela memberikan bantal empuk yang tadi ia pakai kepada si menyebalkan Vante. Tapi daripada tidak dipakai, lebih baik dipinjamkan saja. Kasihan juga kalau leher Vante sakit besok pagi.

Ketika Irene hendak menyelipkan bantal di bawah kepala si pemuda dan mengangkat wajah Vante, tanpa sengaja Irene menyentuh bibir pria itu.

Duk!

Kepala Vante membentur lantai begitu saja. Sontak, mata Vante setengah terbuka, meringis kesakitan.

"B- bukan apa-apa. Aku tidak punya maksud apapun!" kata Irene, panik, kepada Vante yang masih terlelap di alam mimpi.

Dan malam itu, tanpa dikontrol kesadaran, Vante menarik tangan Irene dan mengenggamnya lembut, seolah tidak terjadi apa-apa.

Vante tidak terbangun, tapi Irene tidak. Tautan jari Vante di antara ruas jari Irene yang kecil benar-benar membuat Irene terbangun sepenuhnya. Seratus persen.

Hakimi Irene kelewat polos atau apapun. Terserah. Tapi belum ada pria lain yang menautkan jari dengannya seperti ini, tidak Dean yang ia sukai sekalipun. Lantas siapa pula Victorius Vante bisa saja seenaknya mengaduk-ngaduk perasaan Irene dengan sebuah genggaman tangan.

Sudah gila, seenaknya pula, Irene meringis.

"Ma..." lirih Vante.

"Bukan ibumu. Geez."

"... cepat sembuh, ya."

Irene terdiam mendengar racau kecil tersebut. Mamanya sedang sakit?

Akhirnya ia mengalah, membiarkan pria itu menggengam tangannya untuk beberapa menit.

Lalu setelah situasi terlihat lebih baik, ia bersusah payah menarik tangannya agar bebas dari tautan erat tangan Vante.

Irene duduk di sudut kasur. Dengan gusar gadis itu memeluk lutut, berusaha menyembunyikan semburat rona merah muda di pipi.

"OI, SEREALMU NGEMBANG, TUH!"

Vante sukses membuyarkan lamunan Irene tentang semalam. Telapak tangan dilambaikan di depan wajah Irene yang seperti kehilangan jiwa. Begitu tersadar dan mendapati wajah Vante berdekatan dengan miliknya, spontan Irene tersedak.

"Ohok, ohok!" Irene memukul dadanya dramatis, membuat beberapa tetes susu terbang ke wajah Vante yang baru saja habis mandi.

"Ya Tuhan. Ada apa dengan dirimu? Nona ceroboh!" omel Vante.

Seraya ia tetap membantu dengan memberikan air putih dan menepuk punggung gadis itu, "Tidak bisa hati-hati, apa, ya?" decakan terdengar dari bibir Vante.

"M-maaf," Irene beranjak ke dapur, segera mencuci mangkuk yang dipakainya tadi.

Tidak mengikuti, Vante memilih duduk di sofa sambil mengganti channel televisi yang sebenarnya membosankan, lantas setelah menyerah mencari acara pagi yang seru untuk ditonton, ia pun membuka percakapan, "Hari ini adikmu datang?"

"Iya, bersama teman baikku juga."

"Cantik tidak?"

"Adikku?"

"Temanmu lah. Tidak suka anak SMP."

"Vante... kuberi tahu saja, temanku laki-laki."

"Si satpam waktu itu?"

"Namanya Dean."

"Whatever, dia terlihat seperti satpam bagiku."

Sumpah, ingin sekali rasanya menggosok mulut Vante dengan spons kuning kemudian membilas bibir rese itu dengan sabun cuci piring yang sedang digenggamnya.

Namun sebelum Irene sempat melempar celotehan kepada Vante yang selalu menjawab dengan acuh tak acuh, tiba-tiba bunyi pintu diketuk merebut perhatian keduanya.

Irene mendengar namanya dipanggil beberapa kali meski teredam oleh pintu kayu. Seketika kilat mata Irene berbinar. "Itu pasti mereka!" []

__________





Note:

Dokumentasi: Dean sedang otw ke Daegu di stasiun

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dokumentasi: Dean sedang otw ke Daegu di stasiun. Muehehehe.

✔ Summer Flavor | salicelee.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang