|
❤🌞🍉
D u a p u l u h
D u a|
"Aku sayang padamu, Irene."Sampai detik ini, Irene masih tidak menjawab. Dan Vante tak menuntut meskipun pernyataan itu sudah lewat 3 hari.
Lucu. Tapi tentu saja tidak akan berakhir di sana. Vante tidak akan membiarkannya.
Ditatapnya gadis itu lekat-lekat. Irene sedang sibuk mendengarkan radio dengan earphone, setelah membagikan beras kepada anak yatim piatuㅡlokasi layanan komunitas hari ini.
Sembari meneguk Cola dari botol, kaki Vante melangkah ringan kemudian meletakkan satu kaleng jus leci baru. Masih ada embun dingin di sekitar kaleng, kontras dengan terik matahari yang tak kenal ampun.
"Nih, minum dulu."
"Eh? Ya. Nanti saja," jawab Irene buru-buru setelah mendongak sekilas.
"Kau tidak mau makan bersamaku sehabis ini?"
"Tidak," jawaban Irene yang singkat berhasil membuat Vante berpikir keras dalam garukan tengkuknya.
"Ini perintah presiden, lho," Vante menyunggingkan senyum jahil. Lalu satu kali lagi, berusaha membujuk dengan lembut, "Ayo, makan."
Gadis itu menggeleng, "Tidak."
Tunggu. Ini kenapa, sih?
Sudah 3 hari Irene mengabaikannya.
Kenapa malah Irene yang bersikap seperti ini? Yang digantung itu kan Vante?
Vante mengernyitkan dahi. "Aku buat salah, ya?"
"Kurasa iya."
"Serius?" Vante berkacak pinggang, "apa yang kulakukan?"
Bola mata Irene mengerling pada Vante yang sekarang berdiri di hadapannya, "Aku bilang kurasa. Kau tidak dengar?"
Vante membuang napas. Astaga. Apa yang telah ia perbuat, ya? Kenapa sampai Irene Bernice bak malaikat tiba-tiba berlagak bak monster ketus seperti ini?
Vante menggeleng pusing. Sebersit pemikiran lewat begitu saja di kepalanya. Mendadak bola matanya membulat, merasa bahwa apa yang baru saja lewat itu, mungkin adalah jawabannya.
"Jangan bilang menyatakan perasaanku padamu itu sebuah kesalahan?"
Irene bergeming. Kemudian dengan mata berkaca-kaca yang disembunyikan, ia mengangguk.
Merotasikan mata jengah, Vante merasakan perasaan sakit yang berkecamuk di dalam sana. Dadanya seperti dicambuk satu dua kali dengan kekuatan mendadak.
"Bilang. Katakan. Itu sebuah kesalahan?"
Irene masih diam.
"Itu kesalahan? Kenapa?"
Dengan alis berkerut dan manik yang tak ramah, Irene memberikan jawaban yang memberi lecutan samar di dada Vante. "Karena aku tidak menyukaimu."
Setelah membuat Vante terdiam dalam beberapa sekon, gadis itu melanjutkan, menyulut emosi Vante, "Jadi, salah kalau kau menyukaiku, Vante."
"Aku yang mencintaimuㅡbahkan itu adalah kesalahan? Aku tidak boleh memiliki perasaan padamu?"
"Benar. Jangan lakukan itu."
"Irene Bernice," tandas Vante dingin.
"Kau kehilangan akal sehatmu, ya? Kenapa kau egois sekali? Aku bahkan tidak memintamu membalasnya."Pupil Irene bergetar, mulutnya terkatup rapat tatkala Vante melanjutkan kalimatnya dengan alis bertekuk keras.
"Aku hanya mengutarakannya kepadamu. Dan kau seenaknya mengabaikanku 3 hari begini?" Nada Vante mulai meninggi.
"Aku tidak butuh ungkapan rasa itu. Dan sekarang itu salahku karena aku tidak ingin mendengarnya?" Irene masih bertanya dengan nada pelan. Tidak ingin meninggikan suara meski ia mendadak merasa dipojokkanㅡseolah dia lah yang paling jahat di sini.
Padahal semua orang memiliki alasan, bukan?
"Shit! Aku tidak bilang itu salahmu!"
Mendengar suara Vante yang keras, Irene meneguk saliva. Lamat-lamat ia berusaha membendung bulir kristal di pelupuk matanya saat berkata pelan, "Kau baru saja meninggikan suara padaku, Vante."
Vanter terhenyak, lalu meneguk ludah kesadaran sebelum melanjutkan dengan emosi yang lebih dikontrol mati-matian, "Oke, maaf."
Tapi Irene yang diam saja membuat Vante mendengus gusar.
"Memangnya aku sekarang terlihat seperti apa di matamu, Rene?"
Dengan iris berkaca-kaca, Irene balas menatap lurus dan sengit, "Beban."
"What?!" Alisnya terangkat satu, tanda ketidakpercayaan.
"Jangan berteriak padaku," Irene membalas datar.
"Kau menyuruhku mengontrol emosi di saat kau lah yang menyebabkannya?" Vante meloloskan satu tawa kesal, "Lucu."
"Aku tidak pernah memintanya. Kau juga yang bertanggung jawab penuh atas emosi dan perasaanmu."
"Ireneㅡ"
"Jangan menyalahkanku dan jangan membuat hidupku semakin rumit. Kehadiranmu sudah cukup menganggu. Dan aku sudah memberi banyak toleransi untukmu."
"Memangnya apa yangㅡ"
"Perasaanmu itu hanya sebuah beban buatku," kata Irene membuat lidah Vante mendadak kelu.
Gadis itu akhirnya berbalik dan angkat kaki dari sana, meninggalkan Vante dengan hati yang bergemeretak.
Serius. Di sana kah letak kesalahannya? Karena mencintai Irene Bernice? Dan perasaan tulusnya ini adalah hanya beban?
Dan apa itu tadi? Menganggu?
Oh, jadi maksudnya eksistensi Vante menganggu jalannya Irene dengan Dean? Jadi dia ini beban yang menganggu, begitu? Hebat.
Pemuda itu melempar botol Cola-nya dengan marah. Omong kosong. Yang benar saja.
Baik. Lupakan saja Irene Bernice dengan segala komplikasi rumitnya. Dari berjuta miliar gadis di dunia, kenapa harus Irene Bernice, lagipula?
Lupakan saja. Shit. []
__________
Notes:
Bagaimana? Coba tebak alasan Irene dong.
KAMU SEDANG MEMBACA
✔ Summer Flavor | salicelee.
Fanfiction《COMPLETE》 《FOLLOW SEBELUM BACA! DIPRIVATE. 🔒》 Image Irene Bernice sebagai Ambasador Kampus hancur seketika! Semua gara-gara mahasiswa bernama Victorius Vante Kim yang menciumnya karena sebuah sticky notes bertuliskan "1 treat = 1 kiss" yang entah...