20: Rasa Gundah

1.8K 467 54
                                    

Love is a little scintilla you see before you closed your eyes


|

❤🌞🍉

D u a p u l u h

|


Vante melahap semangkuk bubur yang disiapkan Irene. Rambutnya masih agak basah sehabis cuci muka. Tak lama ia mendorong mangkukㅡselesai makan.

"Mau lagi?" Tanya Irene.

Vante menggeleng, "Nope. Buburmu nggak enak."

"Kurang ajar."

Dan, ya, Irene di sana menyipitkan mata dengan wajah datar. Ingin mengutuk, tapi kasihan Vante masih sakit.

Kalau tidak ingat bahwa Vante masih anak orangㅡbukan anak alien, mungkin sendok bubur di panci sudah diketuk ke kepala pria itu. Eh, tapi meskipun Vante anak alien, juga, Irene takkan berani melakukan itu pada siapapun, sih.

Lantas Irene memilih mengatupkan bibir saja sambil menyeruput bubur buatannya.

Biasa saja. Bukan tidak enak, kok. Dasar tukang komentar.

"Ngomong-ngomong, Dean dimana sekarang?" Tanya Vante.

Irene mengernyit, "Lho, ya, Di Seoul."

"Oke. Semenit yang lalu ia bilang padaku mau datang kemari. Jadi, ia tidak bilang padamu?" Seketika gerakan Irene terhenti. Dean tidak bilang apapun padanya.

Apa karena Dean pikir Irene marah?

Sejujurnya Irene tidak marah pada Dean. Ia hanya tidak siap bertemu dengan Dean. Apalagi setelah kejadian beberapa hari yang lalu. Ah, Irene jadi tidak tahu harus bersikap bagaimana.

Vante mengangkat ponselnya yang bergetar, baru saja ada 1 notifikasi. Kemudian dia sekilas menunjukkan layar ponsel dengan cengiran canggung, "Uhm... Oh, aku salah. Maksudnya ia berniat untuk menjemput kita berdua di Seoul. Mau memberi kejutan untukmu. Tapiㅡ"

"Tapi?"

"Tapi sudah gagal surprise karena aku. Yuhuuu. Sori."

Irene mendengus lega, "Ya sudah. Aku mandi dulu."

Vante mengangguk semangat, "Yup. Yang bersih! Kalau nggak, aku yang mandiin," bergurau sembrono dan sebagai hadiah ia diabaikan Irene.

Seketika saat manik mata Vante menangkap punggung Irene yang berbalik, kilat matanya berubah. Menjadi serius. Dahinya berkerut bingung, menatap pesan dari Dean.

DEAN: Bisa temui aku di luar saja? Tolong jangan bilang Irene.

*


Dean ada di sana dengan hoodie dan jaket flanel, di bahu ada gitar yang dipikulanya. Vante menyapa Dean dengan cengiran lebar. Seharusnya Dean membalas, satu senyuman pun cukup, hanya supaya Vante tidak berprasangka, tapi apalah, sepertinya Dean memang sengaja tidak menghiraukan Vante. Raut wajahnya berbeda. Ia tampak serius, lebih dari biasanya.

Maka Vante terlihat mulai menyesuaikan dengan keadaan. Ia tahu situasi seperti ini pasti akan datang juga. Tapi wajah Vante tetap santai.

"Sepertinya aku tahu apa yang mau kau bicarakan, Dean," Terka Vante membuat seluruh atensi Dean ada pada bola matanya. "Irene, 'kan?"

Dean menyeringai. Menertawakan sesuatuㅡentahㅡmungkin dirinya sendiri.

Vante dapat melihat bahwa Dean jauh-jauh datang kemari di sela kesibukannya. Pelipis pria itu basah karena keringat. Belum lagi gitar itu, mungkin Dean baru saja menghabiskan waktu di studio.

"Tekadku sudah bulat. Aku akan ambil Irene kembali. Jadi menyingkirlah," Dean menjeda, "Aku memberi tahumu begini karena aku menganggapmu teman."

Wah. Sungguh, konyol sekali musisi amatir ini. Dan apa tadi katanya? Kembali? Irene tidak pernah menjadi milikmu, Bung. Kepala Vante panas. Tapi ia merangkumnya hanya dengan satu kata.

"Tidak."

"Vante Kim? Seriously?"

"Irene bukan barang yang bisa kau ambil kembali seolah-olah kau titipkan di tempat penitipan," tandas Vante. "Apalagi jika tempat penitipan yang kaumaksud itu adalah aku."

Dean membuang napas. "Tapi, Irene adalah temanku, sahabatku."

"Apa yang ada di tanganku, adalah kontrolku. Jika kau ingin aku menyingkir, maka singkirkan aku. Dengan sportif."

Vante berbalik dari sana. Ia tak ingin berdebat lebih lanjut. Jujur saja, belakangan ini ia menganggap Dean temannya. Meski tidak sedekat itu, tapi Dean sebenarnya adalah sosok yang menyenangkan untuk diajak bicara. Selera musik mereka pun sama. Vante agak mendapati suaranya serak, "Aku memberi tahumu ini karena aku juga menganggapmu teman, Dean."

Dean paham sekarang. Posisinya dan Vanteㅡdan tentunya, posisi Irene.

"Aku tak ingin menjadi pecundang yang mundur dan tak melakukan apapun karena takut akan kesalahanku sendiri. Lebih baik aku jadi pecundang yang kalah. Setidaknya, aku maju," kata Vante. Dean merasakan adanya insekuritas yang terselip sana. Seolah mengatakan bahwa; meskipun aku tak tahu perasaan Irene, aku akan tetap memperjuangkan keinginanku. Tidak seperti dirimu.

Dean tersenyum miris, diam-diam mengakui kebodohannya. Apalah arti 10 tahun bersama Irene, kalau dalam tahun-tahun itu ia juga telah menyakiti Irene secara tak langsung.

Dan lihat Vante. Orang yang baru bertemu dengan Irene, namun siap dengan segala resiko dan kemungkinan terburuk.

Lantas Dean hanya berdiri mematung di sana, matanya menatap sebuah kaset di genggaman yang mengingatkan pada banyak hal.

Dan lagi. Satu kalimat terakhir Vante memukul Dean tepat pada kerongkongannya.

"Jadi, kau yang menyingkir, Dean."

Oh. Vante takkan memberikannya celah, ternyata. []

_______

Notes:
Akhirnya POV Dean terkuak sedikit. Teehee.

[Cerita Summer Flavor sudah tamat. Sebagai pembaca yang budiman, harap meninggalkan jejak 👍]

✔ Summer Flavor | salicelee.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang