6: Rasa Lelah

2.7K 618 48
                                    

A day passed just like another dayWe came home and tried to forget things, everything. We tried everything to make ourselves feel better, but that feeling came again. It's a reiterate.

|

❤🌞🍉

E n a m

|






Irene melirik jam dinding, pukul satu malam lewat tujuh belas menit.

Ia tersenyum tipis. Setidaknya hari ini ada hal baik yang terjadi; ia sampai lebih awal beberapa menit di rumah.

Tanpa aba-aba ia langsung menjorokkan bokongnya di sofa kecil abu-abu dengan kulit yang sedikit terkelupas.

5 menit.

Irene hanya butuh 5 menit untuk mendinginkan kepalanya yang terasa penat dan kakinya yang pegal. Ia sudah terbiasa dengan gaya hidupnya yang seperti ini. Ia juga tidak ingin mengeluh atas betapa lelahnya seluruh pekerjaan paruh waktu yang diambilnya di sela-sela kesibukkan aktivitas kuliahnya.

Tentu ada hari dimana semuanya terasa begitu melelahkan. Irene terkadang mengharapkan sesuatu yang mustahil, misalnya, 30 jam sehari agar ia memiliki waktu untuk cukup beristirahat. Tapi setelah dipikir-pikir, sepertinya takkan ada yang berubah. Irene Bernice malah akan berpesta pora bekerja paruh waktu seperti sapi perah. Lalu seperti biasa, hanya menyisakan 4 atau 5 jam untuk tidur.

Dan terutama hari ini, entah kenapa kelelahannya berkali lipat, berpangkat bahkan. Tapi mau bagaimana lagi, ini adalah hidup yang harus dijalankan. Selalu seperti itu batin Irene menghibur dirinya. Beratnya hidup di ibukota. Ia berjanji untuk selalu kuat. Apabila bukan untuk dirinya, setidaknya demi adik perempuannya, Jennie.

Sembari menatap Jennie yang tengah belajar sambil menyicip camilan keripik, ia mengulas senyum tipis, sangat tipis. Mendadak banyak pikiran putus asa mencuat dan hanya mampu ia rangkum dalam 1 pertanyaan;

"Jennie, apa aku berhenti kuliah saja, ya?"

Jennie menyipitkan mata, "Kakak lagi bercanda, ya? Aku yang tak perlu kuliah, daripada menghabiskan uangmu. Lagipula, mau belajar sebanyak apapun aku tak akan pernah pintar. Dan tidak akan masuk ke SMA negeri tujuanku."

"Sekali lagi kau bilang begitu, aku bantai kamu. Sudah tahu bodoh, ya, belajar, bukannya menyerah."

Jennie mendengus pelan, ia yakin Irene sedang mengalami masalah dan seperti biasa, Irene tidak mau berbagi dengannyaㅡdengan alasan lebih baik Jennie fokus belajar saja. Jennie ingin kecewa, tapi ia tidak punya hati untuk melakukan itu kepada orang yang merawatnya sedari kecil.

Sejak orang tua mereka bercerai, hanya Irene yang ia punya. Ayahnya pergi meninggalkan mereka bertiga. Ibu kembali bekerja di tempat impiannya dan tewas dalam kecelakaan beruntun di jalan tol, meninggalkan seonggok uang dari asuransi jiwa.

Bermodalkan itu, Irene, kakaknya yang waktu itu masih 16 tahun, menghidupi Jennie.

Jennie tidak mau lihat kondisi Irene sekarang. Ia tahu mata Irene pasti sedang berlinang, atau jika ia salah, mungkin Irene sedang melamun, tenggelam dalam pikiran yang menyesakkan. Jennie memilih berpura-pura mengerjakan tugas, meski dengan hati gundah.

Sebenarnya, Jennie benci mengetahui hal ini tanpa bisa melakukan apapun untuk membantu Irene. Makanya terkadang Jennie serius ingin berhenti sekolah dan membantu Irene bekerja. Rasanya tidak adil jika hanya Irene yang bekerja untuk menghidupinya, ia juga ingin membantu, meski tidak banyak.

Di saat seperti ini, Jennie rindu dengan keadaan hidupnya dulu. Sebelum semuanya terpecah belah dan menjadi berantakkan.

"Kak."

Ia menarik napas dalam-dalam sebelum mengucapkan kata terlarang di kamus Irene. Tapi apa boleh buat, Jennie akan memberanikan diri untuk mengatakannya. Menurut remaja tanggung sepertinya, ini adalah cara terbaik agar mereka berdua bisa hidup tenangㅡtanpa melihat Irene kelelahan secara fisik dan mental.

"...kita minta uang sama papa saja, ya?"

Di detik Jennie menyelesaikan kalimat itu, tiada nada lembut yang biasa didengarnya. Hanya sebuah keheningan diiringi dengan suara pintu kamar yang ditutup.

Cklek.

Dan dikunci.

Irene tak ingin merespon soal itu. Ayah mereka sudah bahagia dengan keluarganya yang baru. Agak tebal muka jika mereka meminta uang, bukan? Lagipula ayah tak pernah berusaha mencari mereka. Lebih tepatnya, ayah tak peduli.

Dan Jennie hanya bisa menghela napas pasrah. Jennie yakin saat ini Irene sedang meringkuk, memeluk kedua lutut, dan bersembunyi di bawah selimut; menangis tanpa suara di dalam kamar.

Lantas tanpa daya ia hanya mampu mencicit dari balik pintu, "Kak, jangan menangis."

"Jen, biarkan aku sendiri dulu."

"Lagi?" Jennie membuang napas tak sabaran, tanpa sadar ia mulai meninggikan suara, frustasi. "Kenapa kau selalu menangis sendiri? Aku tak mengerti. Aku ini siapa bagimu, Kak?"

Kedua alis Jennie mengerut karena ia tak digubris. "Ya sudah, menangis sana!" Jennie berteriak kasar, namun dalam beberapa detik mata Jennie sudah dipenuhi air mata, "...kenapa kau selalu menyimpannya sendirian?" Jennie berbisik sangat kecil, bermonolog sendiri, sambil mengusap kasar matanya yang basah.

Tubuh Jennie merosot bersandar di pintu. Ia memeluk lutut dan membenamkan wajahnya di sana. Bahunya bergetar hebat karena sesenggukkan, tak jauh berbeda dengan Irene yang sedari tadi sudah menangis dibalik selimut. Hanya saja, Jennie membuat suara, Irene tidak.

Mereka sama saja. Sama-sama sedang merasa lelah. []

________

Note:
Jangan lupa untuk menambahkan Summer Flavor di daftar bacaan dan vote sebagai bentuk apresiasi, ya. ♡ 

[Cerita Summer Flavor sudah tamat. Sebagai pembaca yang budiman, harap meninggalkan jejak 👍]

|

✔ Summer Flavor | salicelee.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang