9.5: Victorius Vante

2.4K 566 29
                                    

Just like a star across my sky, you have appeared in my life.

|

❤🌞🍉

S e m b i l a n
t i t i k   L i m a

|

|

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



Ipod mini keluaran tahun 2005 itu adalah peninggalan terakhir Ibu Vante. Sticker smiley kuning itu juga bukan asal tempel. Jika suatu saat nanti ibunya akhirnya dipanggil, Vante harus tetap tersenyum seperti sticker itu, kapanpun, dimanapun, karena ibu akan menemaninya kemanapun ia berada.

Ipod itu berisikan memori lagu-lagu terbaik yang selalu mereka dengar bersama; The Carpenters, Skeeter Davis, Norah Jones, Air Supply, Frank Sinatra, Elvis Presley, The Beatles, dan penyanyi favorit ibunya, Corinne Bailey Rae.

Meski mendengarkan lagu itu di balik bangsal rumah sakit khusus pasien kanker yang diinapi ibunya, Vante tidak pernah lupa.

Tahun demi tahun berlalu. Hanya dengan ayahnya yang kaya raya, Vante pun tumbuh dengan baik-baik saja, menjadi Vante yang kalian kenal sampai sejauh ini. Jika ditanya satu penyesalan yang ia punya dalam hidup, jawabannya adalah kurangnya mimpi yang ia miliki dalam hidup.

Victorius Vante tidak punya mimpi.

Karena semua yang Vante inginkan bisa didapat tanpa usaha. Tidak perlu menabung atau bekerja paruh waktu untuk mencukupi kebutuhan tersiernya. Ayahnya punya banyak uang. Untuk seumuran Vante remaja, hal itu sangat menguntungkan. Ia bisa memiliki dan melakukan apa saja yang ia mau.

Sampai hari itu. Hari yang menjadi titik balik dalam hidupnya.

Vante sedang berpartisipasi sebagai pemain basket dalam kompetisi antar SMA. Kemudian sehabis bel istirahat berbunyi, dari radio sekolah asing itu terputar lagu yang menarik seluruh atensinya. Vante yang semula duduk di lapangan, beranjak. Bahkan sampai menumpahkan botol mineral yang dipegangnya.

Like A Star, Corinne Bailley Rae.
Lagu favorit ibunya.

Vante berlari secepat mungkin, bertanya—dimana ruang penyiaran radio sekolah—kepada murid-murid asing yang dilewatinya. Dan sampailah ia di lantai 2, tempat radio sekolah SMA Rebe biasa disiarkan.

I've been confused in the dark
—now I understand

Angin sepoi-sepoi meniup gorden putih di belakang gadis berseragam yang sedang duduk membaca naskah radio. Kakinya dihentak pelan menyimak irama lagu, tanpa menyadari eksistensi Vante.

Bayangan itu membawa Vante kembali satu dekade yang lalu. Seolah mengingatkan pada sosok ibunda yang diam-diam ia rindukan selama ini.

Saliva membasahi kerongkongan Vante yang kering, peluh bagai kristal menuruni dahi, akibat dari berlarian di sekolah yang baru saja ia kunjungi satu kali. Dengan hati berdebar, ia hanya terdiam menikmati wajah cantik milik gadis yang—sampai akhir acara kompetisi antar sekolah, masih—tidak ia ketahui namanya.

Pasti aneh jika Vante tiba-tiba mengajak gadis itu berkenalan, bukan? Setidaknya itulah yang Vante remaja pikir saat itu. Dan pikirannya saat itu membawanya pada penyesalan. Seharusnya, ia tanyakan saja namanya.

Sampai 2 atau 3 tahun kemudian, Vante bertemu lagi dengan gadis itu ketika ia mendapat undangan untuk menghadiri acara spektakuler universitas, yaitu pemilihan campus ambassador Universitas Internasional SM.

Itu...

Irene Bernice.

Nama yang selama ini tanpa sadar masih dicarinya.

Sosok itu bersinar, berdiri di atas panggung, tersorot lampu sorot megah dengan buket dan mahkota pemenang yang sangat sesuai dengan warna gaunnya. Sedikit yang diketahui Vante, gadis itu telah memikat dan mencuri kesadarannya diam-diam.

Vante tidak kenal gadis itu. Hanya saja ada perasaan seperti setruman menyenangkan ketika ia melihat Irene. Sepertinya, Irene Bernice punya tempat spesial di ruang hati Victorius Vante. Entah sejak kapan.

Tapi memang bukan takdir. Keduanya tidak pernah diberikan kebetulan oleh Tuhan. Keduanya tidak pernah diberi kesempatan untuk menjadi dekat dengan satu sama lain.

Sampai hari itu. Insiden yang akhirnya mempertemukan Victorius Vante dengan Irene Bernice.

Begitu mendengar gelak tawa tak lazim Eunice Jung bersama gengnya, Vante tak sengaja mencuri dengar percakapan selanjutnya dengan Bobby Choiㅡteman sekelasnya yang terkenal dengan sebutan Si Korea Brengsek. Bukan bermaksud rasis atau yang lain. Tapi karena ini kampus internasional, banyak orang asing yang bernama Bobby, sehingga untuk membedakan si Bobby yang satu ini, dia dipanggil begitu, disesuaikan dengan tingkah laku dan reputasinya di kampus.

"Aku akan melumat bibir itu." Bobby tertawa renyah. Benar-benar tanpa dosa. Entah itu bercanda atau serius, yang pasti Vante kurang lebih jadi mengerti maksud mereka setelah menyadari kertas post-it pink yang ditempel di badan Irene.

Awalnya Vante tidak mau peduli (jelas saja, Vante tidak kenal Irene secara pribadi), tapi ketika Eunice mendorong bahu Bobby untuk maju—dan Bobby mengiyakan—entah angin atau setan mana yang merasuki, Vante berlari secepat kilat. Terlebih dahulu melalui Bobby serta tanpa sadar saja sudah berada tepat selangkah di belakang Irene Bernice, berusaha membuang kertas konyol itu, tapi tiba-tiba saja Irene menoleh.

Dan membuat Vante melontarkan pernyataan konyol seperti, "A- Aku traktir."

Bukan halo atau kalimat perkenalan yang pertama kali diucapkan Vante. Melainkan kalimat itu, satu kalimat yang membawanya ke keseharian yang baru.

Kesehariannya dengan Irene Bernice.

|
○○○
|


"Stop melamun

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Stop melamun. Kita sudah di Daegu," sela Irene mencolek bahu Vante dengan buku panduan layanan komunitas. []

______
__

Notes:
Maaf ya, aku update nggak rutin. Anyway, Thanks a lot. Dukungan serta komentarnya berarti banget.

Semoga kalian para reader baik hati bahagia selalu :)

Semoga kalian para reader baik hati bahagia selalu :)

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
✔ Summer Flavor | salicelee.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang