Kondisi padang pasir sekalipun terasa lebih lembab dibanding bibir Vante saat ini. Ah, sudah berapa lama dia menunggu hari ini tiba?
Seperti yang kalian tebak, hari ini adalah hari yang dipilih Vante untuk melamar Irene.
Ia tidak ingat sudah berapa kali ia merekam suara dan latihan di depan cermin untuk mengatakan kalimat simpel-tapi-sukses-membuat-gugup itu kepada kekasihnya. Bahkan dia ambil cuti demi perkara ini.
"W-will you marry me?"
Vante menatap intens.
Ke cermin tentu saja. Dia masih latihan.
Lantaran tak puas, maka ia berdeham keras kemudian berbaring di kasur dengan pikiran kemana-mana. Malam ini dia akan mengatakannya. Malam ini, sepulang Irene pulang dari stasiun radio. Rencananya harus berhasil.
Oke, jujur saja Vante sudah pernah merencanakan acara proposal sebelumnya. Mungkin ini sudah rencana yang, uh, mungkin kelima. Rencana-rencana sebelumnya selalu gagal. Ada saja pengacau.
Entah Jennie yang tiba-tiba menelepon minta dijemput karena kesepian dan ingin makan ayam. Atau karena ada pengantar paket datang pagi-pagiㅡlike, the hell?! Rajin banget sih kerjanya? Apa tidak bisa malas satu hari supaya Vante bisa melamar Irene?
Ada satu kali, acara surprise Vante di Indonesia sempat batal karena sepupunya yang masih SMA, Dylan, tiba-tiba merengek minta bantu dibelikan buket untuk seorang gadis kecengannya karena dia sudah nyasar dua kali menuju flower shop terdekat. Sebenarnya Vante, si pria berumur 27 tahun ini, ingin sekali bilang dengan nada gaul khas percakapan Dylan yang notabene masih anak muda; Halo, kawula muda! Punya handphone dipakai buat cari online shop bisa kali.
Well, mungkin akan terdengar awkward menilai bahwa dia ini sudah hampir kepala 3 untuk menggunakan intonasi seperti yang di atas. Namun, mengingat bahwa Dylan terus memohon karena dia butuh itu untuk acara ulang tahun, akhirnya, Vante dengan segenap hati menemani si adik kecil untuk membeli bunga. Bahkan ia menggambar peta sekaligus peringatan supaya Dylan tidak menganggu acaranya lagi.
Hem, sebenarnya ia membantu Dylan karena untuk alasan tertentu dia malah teringat pada masa-masa dulunya dengan Irene di bangku kuliah.
Istilahnya itu 'bucin,' kalau kata Dylan.
Mirip. Sebelas dua belas dengan lelaki yang ikut menginap ke Daegu padahal sudah bayar uang denda hanya untuk modus mengenal cewek galak yang menginjak sepatu putihnya usai dari ruang kemahasiswaan.
Vante tersenyum-senyum kecil dan tanpa disadari, tiba-tiba saja pintu sudah terbuka.
Oh, astaga. Bukankah harusnya Irene kembali pada pukul 8? Ini baru pukul 6 petang.
"Vante?" panggil Irene dengan lembut, seperti biasanya.
Pemuda itu beranjak cepat, merengkuh wanitanya dengan hangat kemudian menciumi bibir milik Irene yang masih dipolesi lipstik.
"Emh, Sayang, aku ingin istirahat lebih awal," Irene mendorong pelan dada Vante, kemudian gadis itu mengikat rambut menjadi satu kuncir dan pergi ke toilet untuk menghapus riasan serta membasuh wajah.
Vante ingin bicara. Ia menunggu timing yang tepat. Tapi, demi Tuhan! Kenapa waktu itu tak kunjung tiba? Kenapa malah usai mencuci muka, Irene malah terlihat seperti ingin tidur?
"Kamu kok pulang lebih cepat hari ini?"
"Tidak enak badan. Kayaknya aku demam. Pegang dahiku coba," tapak femininnya mendekat. Punggung tangab Vante diarahkan untuk menempel pada kening Irene. Gadis itu menghela napas lelah.
KAMU SEDANG MEMBACA
✔ Summer Flavor | salicelee.
Fanfiction《COMPLETE》 《FOLLOW SEBELUM BACA! DIPRIVATE. 🔒》 Image Irene Bernice sebagai Ambasador Kampus hancur seketika! Semua gara-gara mahasiswa bernama Victorius Vante Kim yang menciumnya karena sebuah sticky notes bertuliskan "1 treat = 1 kiss" yang entah...