- AZ 9 -

13.4K 548 3
                                    

Dengan ridho dan restu Allah, bolehkah aku menjadikanmu pendamping dunia akhiratku?

-MAS-

✿✿✿

"Apa?!"

Thariq tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya setelah mendengar ucapan orang yang saat ini menghubunginya lewat telfon.

"Kamu serius soal ini? Benar-benar sudah dipikirkan?" Thariq kembali menanyakan keputusan orang itu, sekaligus meyakinkan dirinya bahwa yang ia dengar itu salah.

Namun, saat mendengar jawaban yang sama dari seberang sana, keyakinan jika ia salah dengar akhirnya buyar. Thariq sudah hampir memastikan untuk ketiga kalinya.

"Oke. Sekarang aku tidak bisa memberi jawaban yang pasti tentang ini. Tapi jika kamu mau menunggu, aku akan mendiskusikan ini dengan saudara-saudaraku."

Beberapa menit kemudian, akhirnya panggilan itu selesai. Panggilan yang ia kira akan biasa saja, malah menjadi alasannya keringat dingin.

Sambil memijit kepalanya yang tiba-tiba pusing, Thariq mendial nomor seseorang di handphonenya. Setelah menekan tombol panggil dan menunggu deringan panggilan, suara seorang pria terdengar dari seberang sana. Hal itu, membuat Thariq meneguk ludah pertanda gugup.

"Assalamualaikum warahmatullah. Ada yang ingin kamu bicarakan, Thariq?"

Terlalu to the point! Batin Thariq menjerit greget. Jika sudah ditanya begitu, lebih baik kasih tahu saja semuanya.

"Wa'alaikumussalam, Kang. Iya, soal Ara."

✿✿✿

"Wa'alaikumussalam, Akang! Ya Allah, Ara kangen banget loh. Sama Akang, sama teh Khadijah, sama dedek bayinya juga. Si sulung sama si bungsu apa kabar, Kang?"

Umi dan Abi yang mendengar dan melihat tingkah anak gadis mereka yang saat ini bertelfon ria dengan sang kakak tertua, hanya bisa menggeleng sambil tersenyum tipis.

"Atuh, si Zahra. Kalau udah kangen akang Idris, pas ngomong enggak pakai rem ya. Meluncur tanpa batas," sindir umi disambut tawa oleh abi.

Zahra yang mendengar itu hanya tertawa kecil. Terdengar pula tawa dari handphonenya. Setelah menekan ikon speaker, Zahra meletakkan handphonenya di atas meja yang ada di ruang tamu tempat mereka berkumpul sekarang.

"Hahaha... Kelakuan Ara kan emang gitu, Umi. Maklum juga udah dua bulan enggak ketemu, pasti si bungsu sana kangen sama bungsu yang di sini," ujar Idris setengah meledek Zahra yang sekarang sudah memayunkan bibirnya.

"Ih, Akang kok jadi jahil kayak A Thariq?" tanya Zahra sambil menggerutu pelan karena kesal diledek oleh umi dan kakaknya.

Abi yang sejak tadi hanya mendengar sambil tertawa, akhirnya melerai. Meskipun bercanda, tapi sebaiknya dihentikan sekarang dari pada Thariq yang tidak tahu apa-apa, malah di serang oleh Zahra karena kakak tertuanya itu.

"Udah, udah. Kamu ini, Dris. Jangan gituin adek kamu, atuh. Umi juga ih, anak gadisnya cemberut tuh. Masa di ledekin terus."

Umi tertawa kecil dan kemudian memeluk Zahra yang duduk di atas karpet, sedangkan umi dan abi duduk di atas sofa.

Mendapat pelukan umi, akhirnya membuat Zahra tertawa lagi. Sebenarnya ia hanya berakting cemberut saja, Zahra benar-benar tidak serius untuk cemberut.

"Hahaha, haduh. Oh ya, tujuan Idris telfon karena ada yang mau di bicarakan sama umi dan abi bertiga. Karena sekarang masih belum bisa mampir ke rumah umi abi, jadi terpaksa lewat telfon. Soalnya ini cukup serius."

AMZAH [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang