Prolog

8.2K 231 11
                                    

"Selesai."

Aku membuka mata. Menatap lurus ke arah cermin yang tepat berada di depan, dan terpana.

Bayangan itu ... seperti bukan diriku. Aku bangkit dari tempat duduk. Berjalan menuju cermin besar yang berada di sudut ruangan.

Aku menatap siluet di cermin dengan tak percaya. Diriku nampak sangat cantik dengan dress berwarwa putih yang di padukan dengan kerudung bernada sama.

"Kamu emang udah cantik dari sananya," celetuk Tio, pria gemulai yang merias wajahku.

Aku menatapnya dan tersenyum. Hari ini adalah hari yang paling membahagiakan diriku. Hari di mana dua insan yang saling mencinta di persatukan. Hari pernikahan.

Tiba-tiba pintu ruangan terbuka dan memunculkan sosok Mama di ambang pintu. Dengan segera aku menghampirinya.

Mama nampak terpana melihat penampilanku. Matanya terlihat berkaca-kaca. Membuatku segera memeluknya.

"Kamu cantik banget, Sayang," bisik Mama di telinga.

Aku melepaskan pelukan dan memberikan senyum terbaikku.

"Ayo, Velly. Calonmu udah nunggu di bawah."

Aku tersipu, semoga saja tak ada yang menyadari hal itu.

Mama menuntunku menuruni tangga dan berjalan menuju tempat resepsi. Semua orang nampak terpana melihatku.

Termasuk dirinya. Aku tertawa kecil melihat mulutnya yang setengah terbuka kala melihatku.

Kini aku telah sampai di sampingnya. Dengan perlahan aku mendudukkan diri. Ia menoleh padaku dan tersenyum sangat manis.

"Kamu cantik banget hari ini," bisiknya.

Blush-on termahal sekalipun tak akan bisa memberikan rona merah alami pada wajahku seperti sekarang.

Berusaha terlihat biasa saja, aku berkata, "Berarti biasanya aku gak cantik, dong?"

Ia terkekeh. "Cantik, sih. Cuman ...." Ia menggantung ucapannya.

"Cuman?" ulangku.

"Enggak jadi deh. Nanti kamu ngambek lagi." Ia memfokuskan pandangan ke depan.

Huh! Bisanya cuman bikin orang penasaran. Aku menepuk pundaknya pelan.

"Eits. Jangan pegang-pegang. Belum halal," sahutnya.

Penghulu yang berada di depan hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya melihat kelakuan kami. Nampaknya ia heran, bagaimana bisa kami akan menikah, padahal setiap saat selalu mempermasalahkan hal kecil.

"Kalian beneran mau nikah?" Penghulu itu menatap calon suamiku. "Hati-hati. Bisa-bisa kamu di giniin terus tiap hari."

Aku melotot memandangnya. Sedangkan ia hanya terkekeh. "Biarin lah, Pak. Yang penting bisa halal sama ini anak."

Ah, lagi-lagi ia sangat pandai membuat pipiku bersemu.

"Udah, siap?" Pak Penghulu bertanya padanya.

Ia mengangguk mantap.

Penghulu itu menyodorkan tangan, yang langsung di sambut oleh tangan calon suamiku.

Ah, ini adalah saat yang paling mendebarkan. Jika mengingat masa itu, saat diriku pertama kali berkenalan dengannya. Aku tak akan pernah menyangka akan menikah dengannya.

Terlebih saat itu di hatiku masih ada bayangan sosok-nya. Hal itu sangat membuatku bingung.

Tapi, semua itu tak bisa merubah skenario Tuhan. Buktinya kini aku berada di sampingnya.

Ah, ingin rasanya kembali ke masa itu. Masa putih abu-abu. Masa paling bersejarah dalam hidupku.

TBC

Jalan Hijrahku [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang