Semuanya gelap. Aku hampir tidak bisa melihat apa yang ada di sekitarku, tapi aku bisa merasakan sekelilingku. Tanah basah yang kupijak, ranting-ranting yang menggores tubuhku. Aku mencium bau hutan, bau alam yang aku sukai.
Suara hewan malam membuatku menoleh ke sana kemari, waspada akan binatang buas yang bisa saja muncul secara tiba-tiba. Aku terus berjalan, masih waspada dengan penjagaan yang kubangun dengan tinggi.
Aku tahu aku sedang berada dimana, tapi aku tidak tahu apa yang kulakukan di sini. Dinginnya malam seakan menyayat kulitku, merasuk hingga ke tulang. Aku berhenti sejenak, melihat kakiku yang kini sudah tidak kukenali. Kaki telanjangku terselimuti oleh lumpur, juga penuh goresan, entah itu karena ranting yang jatuh atau benda tajam lainnya. Namun, bukan itu yang membuatku panik setengah mati, melainkan tubuh telanjangku.
Aku telanjang.
Astaga. Apa yang kulakukan malam-malam dan telanjang di tengah hutan? Aku sendiri tidak bisa menjawab pertanyaanku. Aku menggeleng sebelum melanjutkan perjalananku kembali. Aku juga tidak tahu kemana arah tujuanku, aku hanya berjalan saja. Kedua tanganku memeluk bagian privatku, walau tidak semuanya. Lagipula tidak akan ada orang yang mau berjalan-jalan di dalam hutan tengah malam. Pun kalau ada, mungkin mereka gila dan cari mati. Oh tunggu, aku orang gila itu.
Berharap aku menemukan pondok untuk bisa kusinggahi sebentar. Aku tidak bisa beristirahat, tidak di dalam hutan. Aku bisa saja beristirahat di atas pohon, tidur di batangnya yang besar, tapi itu masih belum aman.
Aku tidak tahu kabur dari apa, pikiranku terus berteriak, memintaku untuk segera berlari. Lari dari siapa? Apa yang sebenarnya membuatku takut. Sekali lagi aku tidak tahu jawaban dari pertanyaan itu.
Aku berhenti berjalan begitu mendengar sesuatu. Samar-samar memang, tapi aku mendengarnya. Namun, semakin suara itu mendekat, semakin jelas suaranya, semakin juga pikiranku terus berteriak. Memerintahku untuk segera pergi.
Itu semua terlambat.
Aku tidak sempat berlari. Kurasakan tubuhku terdorong ke depan, dan jatuh berguling-guling lalu berhenti secara mendadak. Tubuhku serasa baru saja dihantam truk, aku mati rasa. Aku ingin bangun, tapi aku tidak bisa, sesuatu menahanku. Sesuatu yang berat menindihku.
Saat itu juga semuanya menghantam kepalaku. Pembantaian. Aku diminta untuk kabur dari pembantaian keji oleh kedua orangtuaku. Aku mengingat bagaimana wajah mereka yang penuh permohonan, memintaku untuk menjauh dari mereka, mencari tempat aman. Aku tidak mau menyia-nyiakan pengorbanan mereka hanya untuk aku mati tanpa perlawanan.
"Lepas --"
Aku belum sempat menyelesaikan apa yang ingin kukatakan. Aku merasakan sesuatu menetes di leherku, dan saat itu juga aku berteriak sebelum merasakan tajamnya gigi taring yang mengoyak leherku.
Aku merasakan semuanya berputar. Darah memancur melalui luka lebar di leherku. Aku merasakan darah merembes di bawahku, membentuk genangan di tanah hutan. Bau alam sudah tidak tercium lagi, hanya bau amis darah yang bisa kucium. Aku tenggelam dalam kolam darahku sendiri.
Aku terbatuk dan tersedak dengan darahku, membuatku susah untuk bersuara, apalagi beteriak. Rasanya seperti leherku sudah tidak ada lagi. Sebelum pandanganku membuyar, aku melihat serigala berwarna hitam. Memandangku dengan senyuman penuh kemenangan, matanya yang merah kosong menunjukan sesuatu yang jahat.
Aku bersumpah. Jika aku masih hidup, aku akan membunuh serigala itu. Aku akan menghabisinya dengan tangan kosong, dan akan kubiarkan dia mati sendiri tanpa ada batu nisan. Tidak akan ada yang mengenangnya. Seperti aku yang tidak akan ada yang mengenangku saat aku mati nanti.
Aku terbatuk darah lagi. Pandanganku semakin buram, dan kubiarkan diriku terseret dalam lubang hitam. Menetap di sana.
Aku bersumpah.
KAMU SEDANG MEMBACA
King's Luna
WerewolfTidak perlu diberitahu untuk aku tahu siapa sosok sempurna itu. Pasanganku. Belum sempat aku berdiri untuk menghampirinya, aku terpaku begitu saja. Tubuhku membeku seperti waktu disihir untuk berhenti. Pasanganku memberikan tangannya yang langsung d...