Warna perak sudah menjadi bagian dari Lupus Deus jauh sebelum orangtuaku lahir. Setiap upacara yang dilakukan di Lupus Deus wajib memiliki warna perak. Entah itu pada dekorasi atau pada pakaian yang kami pakai. Ayahku bilang itu untuk menghormati sang Dewi Bulan karena sudah membuat cahayanya menerangi malam yang kelam.
Aku berdiri di depan cermin yang tingginya melebihi tinggi tubuhku. Memandangi pantulan diriku di cermin. Mataku yang asing berwarna perak menatapku balik. Waktu aku kecil, aku bisa berdiri di depan cermin dan hanya mengagumi mataku selama berjam-jam. Aku selalu suka warnanya yang unik, dan terlihat bersinar sewaktu aku bahagia, tapi sekarang tidak lagi.
Aku tidak suka mataku. Melihat bagaimana mata kosong itu menatapku balik. Tidak ada emosi di dalamnya, terlihat mati dan kehilangan warnanya. Orang bilang mata adalah jendela, kau bisa melihat berbagai emosi di dalamnya. Mereka tidak akan melihat emosi itu di mataku, karena aku sudah handal untuk menyembunyikannya, menguncinya rapat-rapat agar tidak keluar.
Banyak orang mengatakan kalau aku adalah cetakan yang sama seperti ayahku, hanya saja versi wanitanya. Mereka tidak salah. Aku dan ayah memang sangat mirip. Aku memiliki warna mata dan rambut yang sama seperti ayahku, bahkan struktur wajah yang sama. Aku mungkin punya bibir seperti ibuku, tapi hanya itu.
Rambutku berwarna perak, hampir sama seperti warna bulan. Panjangnya hampir sepinggang, aku selalu menjaganya untuk tetap sepanjang itu. Ibuku bilang ia menyukai rambutku yang panjang. Selalu bergelombang, dan terurai saat tertiup angin. Ibuku juga suka menjadikanku bonekanya, menguncir rambutku dengan berbagai kepang yang ia tahu, dan aku menyukai itu.
"Mommy!" aku mendengar Zena sebelum aku melihatnya. Kaki kecil Zena berlari menuju kamarku, tawa kecil keluar dari mulutnya. Zena agak kesusahan membuka pintu kamarku, tapi saat berhasil suara terbanting terdengar cukup kencang. Zena baru saja membanting pintu kamarku, aku tidak tahu seberapa kuat gadis kecil itu.
Tangan kecil Zena langsung memeluk kedua kakiku. Napasnya terengah-engah tapi itu tidak membuat tawanya berhenti, ia malah semakin kencang tertawa. Zena menyembunyikan kepalanya di antara kedua kakiku, membuatnya bergetar karena masih tertawa.
Zena melompat-lompat dengan tangan yang terulur menggapaiku. Aku tersenyum kecil sebelum mengangkatnya dan menggendongnya di pinggangku. Gadis kecil itu masih tertawa saat aku menggendongnya, kedua tangannya mengalung kencang di leherku hampir membuatku sulit untuk bernapas.
"Dimana gadis kecil itu?" aku mendengar suara Caden sebelum ia masuk ke kamarku. Tawa Zena semakin mengencang, ia menenggelamkan kepalanya di leherku dan masih tertawa. "Aku ingin otaknya," sekarang aku tahu kenapa Zena tertawa dan berlari, Caden sedang mengejarnya.
Terkadang aku menganggap Caden adalah bocah yang terperangkap di tubuh orang dewasa. Cowok itu lebih suka bermain dengan anak kecil di waktu senggangnya. Seperti bermain petak umpat atau kejar-kejaran. Caden akan pura-pura menjadi mayat hidup dan mengejar anak-anak yang sedang bermain, seperti apa yang sedang ia lakukan sekarang bersama Zena.
Zena terkesiap mendengar itu lalu tertawa lagi. Gumaman keluar dari mulut Zena, mengatakan aku harus melindunginya dari Paman Caden yang sudah jadi mayat hidup. Aku ingin memutar mata karena itu. Aku tidak percaya Caden mengajarkan Zena tentang obsesinya dengan mayat hidup.
"Zombie Paman Caden tidak bisa menyakitiku!" Zena menunjuk Caden dengan jarinya yang kecil, ia terlihat sangat lucu dengan ekspresinya yang dibuat galak. Tak lama Zena menatapku, ia memperhatikan wajahku lalu senyum lebar terukir di bibirnya yang kecil. "Elsa akan melindungiku, iya 'kan Elsa?" matanya berbinar dengan harapan.
Aku menatap Zena dengan alis yang bertaut. Aku memperhatikan pantulanku di cermin sekali lagi. Aku memakai gaun panjang berwarna perak, rambutku yang perak di kepang dengan kepangan favorit ibuku. "Siapa Elsa?" tanyaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
King's Luna
WilkołakiTidak perlu diberitahu untuk aku tahu siapa sosok sempurna itu. Pasanganku. Belum sempat aku berdiri untuk menghampirinya, aku terpaku begitu saja. Tubuhku membeku seperti waktu disihir untuk berhenti. Pasanganku memberikan tangannya yang langsung d...