Empat

2.2K 179 0
                                    

Syok dan tatapan tidak percaya ditujukan untuk gadis kecil yang belum genap lima tahun itu, tapi Zena tidak peduli. Ia dengan bangganya memanggilku sebagai ibunya, perasaan bangga itu bercampur dengan kekaguman yang tak pernah menghilang dari wajahnya.

Athena yang anehnya juga ikut bangga dan senang saat si kecil Zena menyebutku sebagai ibunya. Tidak pernah terbayangkan sedikitpun bagiku kalau Zena akan memanggilku seperti itu. Maksudku, aku masih tujuh belas tahun. Mendengar gadis kecil memanggilku ibu, membuatku ragu tapi bangga di saat yang bersamaan. Apapun yang Zena lakukan, itu membuatku melembut.

"Moon Goddess merencanakan sesuatu untuk kita," Athena berbisik pelan. Mata ungunya tak pernah meninggalkan Zena sedetikpun. "Aku bisa merasakan itu, Demetria. Seperti Zena memang dikirimkan Moon Goddess untuk kita."

Aku mencerna apa yang dikatakan Athena baik-baik. Athena bisa saja benar. Banyak orang yang mendatangiku untuk membantuku, tapi tidak ada yang mampu untuk merobohkan dinding yang kubangun tinggi-tinggi, tidak juga dengan Caden. Namun, dengan Zena, gadis itu mampu merobohkannya dengan sentuhan tangan kecilnya saja.

"Mommy," lirihan kecil keluar dari mulut Zena. Air mata terjatuh ke pipinya begitu ia melihatku yang tak merespon dirinya. Tetes demi tetes cristal bening itu keluar satu per satu. Aku mengernyit. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan saat ini. Aku bukan orang yang tepat untuk menenangkan seseorang, apalagi anak kecil.

"Hei," kataku pelan. Tanganku sepertinya punya pikiran sendiri. Kedua tanganku memegang lembut pipi Zena yang basah, wajahnya terasa sangat kecil dalam dekapan tanganku. "Kenapa kau menangis?" aku mengernyit bingung.

"Karena Mommy membenciku," katanya sambil sesenggukan. Kernyitanku semakin dalam. Aku menatap bingung Zena dengan kepala yang miring ke kanan. Mata biru Zena berair menatapku, matanya mengingatkanku dengan lautan. Terlihat sedih, tapi indah sekaligus.

"Aku tidak membencimu," kataku. Zena menatapku penuh harap. Tangan Zena menyingkirkan tanganku dari wajahnya untuk menyeka air matanya sendiri.

"Benarkah?" aku mengangguk. "Kalau begitu, apa kau mau melihat kamarku? Itu akan membuatku senang," aku melirik Caden yang masih terkejut, mulutnya terbuka tak percaya. Bukan hanya Caden, mereka yang ada di ruang tamu juga memiliki ekspresi yang sama. Aku mendesah lalu mengangguk.

Zena tersenyum lebar lalu bangun dari pangkuanku. Tangan kecilnya menarik tanganku, menggandengku untuk mengikuti dirinya menuju dimana kamarnya berada. Aku hanya bisa pasrah menurutinya, Athena terlihat tidak keberatan sama sekali. Serigala betina itu malah ikut senang melihat si kecil Zena yang bahagia.

***King'sLuna***

Mata Zena sayup-sayup saat aku menuju ruang tamu. Zena kugendong di pinggangku, kedua tangannya mengalung di leherku dengan kepalanya di dadaku. Aku ingin menidurkan Zena di kamarnya, tapi aku tidak bisa. Aku harus segera kembali ke Lupus Deus. Urusanku sudah selesai di sini, Carson akan mengurus sisanya.

Caden sudah menungguku di depan pintu bersama warrior yang ikut bersamaku. Isabelle tersenyum melihatku, ia membungkuk hormat yang kubalas dengan anggukan. Jas putih yang dipakai Isabelle sudah tidak bersih seperti biasanya, ada bercak darah atau noda kotoran di jasnya. Isabelle juga tidak terlihat rapi, wajahnya berkeringat dengan rambut berantakan.

"Kau siap, Demi?" aku mengangguk.

Aku membangunkan Zena. Gadis kecil itu mengusap mata untuk menghilangkan rasa kantuknya. Zena melihat Caden, lalu Isabelle, tapi saat matanya menangkap sosok puluhan warrior berbadan besar, Zena langsung menenggelamkan kepalanya di leherku.

"Zena, perkenalkan namamu." kataku pelan. Anggota pack-ku menatap Zena penasaran terutama Isabelle. Caden mungkin tahu siapa Zena, tapi Zena tidak tahu Caden sama sekali. Aku mengelus punggung Zena untuk memberinya dukungan.

Zena mulai mengendusku, sepertinya itu caranya sendiri untuk membuatnya tenang. "Hai," Zena berbisik, masih belum mau menatap mereka semua. "Aku Zena."

Caden tersenyum lalu terkekeh, Zena langsung menatap Caden dengan pipi memerah malu. "Aku Caden, kau bisa panggil aku Paman Caden." Zena mengangguk antusias.

"Hai Paman Caden," Zena melambaikan tangannya lalu berguncang naik-turun digendonganku. "Ini Mommy." Katanya sambil menunjukan cengiran lebarnya. Mata Isabelle membeo, mulutnya terbuka seperti ia tidak percaya dengan apa yang dikatakan Zena barusan.

"Nanti kujelaskan," Caden memberitahu Isabelle, dokter itu mengangguk paham. Isabelle dan Caden adalah teman dekat, mereka terkadang suka menghabiskan waktu bersama saat sedang tidak bertugas, tapi hubungan mereka hanya sebatas teman. Mereka berdua sama-sama ingin menunggu pasangan takdirnya.

Carson menghampiriku dengan Yasmin di sampingnya. Wanita berkulit karamel itu memberikan kecupan di kepala Zena yang masih mengalung di leherku seperti monyet kecil. Carson membungkuk padaku. Waktu aku kecil, aku selalu merasa risih saat ada orang yang membungkuk setiap kali mereka bertemu denganku, tapi aku mulai terbiasa. Membungkuk adalah rasa hormat yang diberikan untuk posisi yang lebih tinggi dari mereka.

"Aku akan mengirimkan keperluan Zena secepatnya, Alpha," aku mengangguk. Aku tidak datang ke sini membawa mobil, jadi aku tidak bisa membawa barang-barang Zena. "Hubungi aku jika kau perlu sesuatu. Sekali lagi aku mewakili Crescent Red Pack untuk mengucapkan terima kasih kepada Lupus Deus, terutama kau Alpha Demetria."

"Tidak masalah, Alpha Carson." Carson menatapku dengan tatapan bangga, begitu juga dengan Yasmin yang bangga dengan pasangannya.

Setelah mengucapkan selamat tinggal, aku dan anggota pack-ku keluar dari rumah pack Crescent Red. Carson, Yasmin dan beberapa anggota mereka mengikuti di belakang. Patahan tulang terdengar dan tak lama semua anggotaku sudah berubah wujudnya menjadi serigala mereka masing-masing. Zena memperhatikan mereka dengan kagum.

Aku menurunkan Zena. "Aku akan merubah wujudku, dan aku ingin kau naik di atasku." Zena mengangguk, ia tidak sabar untuk menaiki Athena. "Saat kau sudah di atasku, aku ingin kau pegangan dengan kencang. Apa yang harus kau lakukan, Zena?" tanyaku memastikan kalau ia mengerti.

"Aku harus pegangan dengan kencang," aku mengangguk puas.

Aku menuju balik pohon untuk melepaskan pakaianku. Sebenarnya aku bisa berubah wujud begitu saja, tapi itu hanya akan membuat pakaian yang kupakai robek. Lagipula, jika aku tidak mencopot pakaianku, aku akan telanjang di hadapan Zena saat aku berubah menjadi manusia lagi. Ketelanjangan bukanlah masalah besar bagi manusia serigala, kami sudah terbiasa melihat tubuh telanjang yang biasa berjalan di wilayah kami.

Aku keluar dari balik pohon sebagai wujud serigalaku. Athena adalah serigala betina yang cantik, tapi menyeramkan di saat yang bersamaan. Selain tubuhnya yang besar, mata Athena juga terlihat buas.

Zena terkekeh geli saat aku menjilat wajahnya. Kekehannya menjadi tawa kencang saat aku belum mau berhenti menjilatnya. Aku harus tiduran dengan perutku yang menyentuh tanah, tubuh Zena terlalu kecil untuk bisa meraih kepalaku. Kutundukan kepalaku ke tanah, memberi isyarat agar Zena segera menunggangiku. Zena langsung mengalungi leherku yang sangat besar untuk kedua tangannya. Tangan Zena bahkan tidak bisa melingkar di leherku secara kesuluruhan.

"Kau punya serigala yang cantik, Mommy." Athena mendengkur senang mendengar pujian Zena.

Aku melolong dan memberi isyarat kepada pack-ku untuk pergi dari sini. Mereka membalas lolonganku. Cakarku mulai berlari menapak tanah, bersamaan dengan Zena yang semakin memegangi leherku dengan erat, bulu-buluku digenggamnya dengan kencang. Tawa Zena terdengar saat aku berlari meliuk-liuk menghindari pepohonan, memintaku untuk berlari lebih cepat.    


***King'sLuna***



Remember to

Vote

and

Comment

King's LunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang