11. Kehilangan Kepercayaan

12.7K 769 129
                                    

Ralia’s pov

Mobil yang dikendarai Azril sampai di Stadion Brawijaya, sesuai dengan alamat yang dikirimkan perempuan itu. “Bagaimana si kembar sampai kemari?” tanya Azka terkejut melihat sekitar.

“Mbak tidak tahu. Bukankah ini lumayan jauh dengan sekolah mereka?” Aku menatap Azka yang mengangguk.

“Itu mereka.” Azril menunjuk sebuah bangku, benar saja kedua putraku bersama seseorang yang tidak kami kenal.

Aku membuka pintu begitu mobil terhenti dan berlari ke arah dua putraku, “Alvin! Alvan!”

“Mama!” Mereka berdua berlari ke arahku dan kami berpelukan.

“Mama!” isak keduanya bersamaan membuat hatiku nyeri, sampai hati Mas Indra melupakan mereka begitu saja.

“Tenang sayang, jangan takut, disini ada Mama.” Aku mengelus rambut mereka berdua dan menyematkan kecupan di kedua pipi mereka.

Azka memeluk Alvin yang masih terisak dan menggendongnya. Aku menggandeng tangan Alvan dan berjalan ke arah perempuan yang meneleponku. Dia sedang berbincang dan tampak akrab dengan Azril. Apa mereka berdua ada hubungan?

Menyadari aku yang berjalan ke arah mereka, Azril tersenyum ke arahku. “Ralia, Azka, kenalkan ini adikku Salwa.” Aku membulatkan mata dan mengerjap-ngerjap mencerna kata demi kata yang dikatakannya.

Selesai dengan keterkejutanku, tanganku terulur ke arahnya. “Ralia.” Dia tersenyum dan menyalamiku.

“Salwa. Senang sekali bisa bertemu dengan Anda, Kakak saya banyak bercerita mengenai Anda.” Salwa tertawa membuat Azril melotot padanya, sedangkan aku hanya tersenyum. Hah? Apa yang diceritakan Azril?

“Oh ya, terimakasih telah menjaga kedua putraku.”

“Sama-sama, Mbak Ralia. Saya juga senang menghabiskan waktu bersama si kembar yang sangat aktif dan pintar.”
“Kami pulang dulu. Alvin, Alvan ayo pamitan dengan Mbak Salwa.” Alvin dan Alvan menghambur ke pelukan Salwa. Aku tersenyum ke arah Azka yang merangkul pinggangku.

#

-Indra’s House-
16:00 WIB

Mobil yang di kendarai Azka berhenti di halaman rumah Mas Indra. Azril memutuskan pulang bersama adiknya, Salwa. “Mbak yakin pulang ke rumah ini?” Azka memainkan jarinya dan menatapku.

Aku menghela nafas panjang dan menengok ke belakang dimana si kembar sudah tertidur pulas, masih mengenakan seragam mereka. Sepertinya mereka lelah setelah menceritakan semua yang terjadi padaku dan Azka. Sejak tadi Azka memintaku membawa mereka berdua pulang ke rumah kakek. Tapi, aku menolaknya. Aku tidak ingin keluargaku tahu yang terjadi dan membahayakan nyawa Mas Indra.

“Hmm.” Azka menghela napas panjang dan membuka pintu mobil, ia menggendong Alvin dan membawanya masuk sedangkan aku menggendong Alvan.

Azka menggendong Alvin dan membawanya masuk, begitu juga denganku yang membawa Alvan. Azka membuka pintu dan terhenti saat melihat dua manusia tertawa bahagia menonton acara televisi seolah tanpa beban. Bahkan suara pintu yang terbuka pun tak mengalihkan perhatian mereka sedikitpun.

“Nyonya!” Tika berteriak membuat kedua manusia yang tak ingin ku sebutkan namanya itu menoleh ke arah kami. Tika mengambil alih Alvin ke gendongannya dan bergegas membawanya ke kamar.

Di belakang Tika, ada Pak Diman yang teropoh-gopoh. “Biar saya saja, Nyonya.” Aku menyerahkan Alvan ke Pak Diman yang langsung berjalan menyusul Tika.

“Alvin dan Alvan sudah pulang.” Aku mengalihkan pandanganku ke arah Mas Indra yang menatapku dengan wajah bersalahnya, berbeda dengan Mbak Maya yang menatapku garang.

Second Love : Separuh NyawaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang