39. Hari Bersama Papa

15.1K 889 211
                                    

Azril’s pov

Ralia membuka pintu begitu mobil yang ku kendarai terparkir sempurna di parkiran rumah berjajar dengan mobil keluarga Aryeswara lainnya. Aku tahu moodnya langsung hancur setelah bertemu 2 ART di rumah Pak Indra. Rencanaku membuat kejutan padanya juga gagal total karena dia lebih memilih pulang dan selama perjalanan Ralia hanya diam saja.

“Ralia, dimana anak-anak? Kau tidak bersama mereka?” tanya Nenek yang sedang berkebun, Ralia tidak menggubrisnya dan terus berjalan masuk membuat Nenek terkejut dengan sikap Ralia.

“Azril, apa yang terjadi?” Nenek mengalihkan pandangannya padaku.

“Moodnya hancur Nek, anak-anak ada di rumah Papa mereka.”

Nenek menatapku dengan kedua mata membulat sempurna. “Apa? Kenapa kau membiarkannya? Bagaimana jika sesuatu terjadi?”

“Tidak Nenek. Semuanya akan bak-baik saja, setidaknya anak-anak butuh menghabiskan waktu dengan ayah mereka kan?”

“Ah, kau benar juga. Selama ini kami egois hingga tak memikirkan soal anak-anak. Hmm, soal Ralia hibur dan tenangkan hatinya.” Nenek tersenyum padaku.

"Pasti nek, Azril masuk dulu.” Aku melangkah masuk ke dalam rumah.

Ku lihat Ralia berjalan menaiki tangga dengan Mama dan Tika di belakangnya. Langkah mereka berdua terhenti saat Ralia membanting pintu kamar. “Azril, ada apa dengan Ralia? kalian bertengkar?”  tanya Mama khawatir.

“Tidak, Ma. Hanya saja sesuatu terjadi hingga merubah moodnya.”

“Apa?” Aku menceritakan semua yang terjadi. Mama memandang pintu kamar Ralia dengan sedih.

“Benar begitu yang di katakan Nyonya Ralia pada Lily?” Tika terlihat terkejut, aku mengangguk.

“Sekarang masuklah dan tenangkan Ralia, sayang.” Aku mengangguk dan membuka pintu.

#

Ralia’s pov

Aku jatuh terduduk dan menangis. Rasanya sangat sakit dan sesak di dadaku. Tidak mudah bagiku menyembuhkan luka yang belum sepenuhnya sembuh dan mereka dengan gamblangnya mengingatkan lagi semua yang tejadi di malam itu. Malam yang menghancurkan hatiku, hidupku, dan harga diriku.

“Mochi.” suara Azril di barengi pelukan hangat membuatku memeluknya dan menangis dalam dekapannya.

“Sakit, Azril. Rasanya sangat sakit.” isakku, Azril mengelus kepalaku yang masih tertutup jilbab. “Aku sudah mencoba menyembuhkan rasa sakit itu, tapi kenapa mereka malah mengingatkanku pada luka yang belum sepenuhnya sembuh, kenapa?” Azril menatapku dan menghapus air mata yang membasahi wajahku.

“Tenangkan dirimu, sayang.”

Aku diam menatap Azril,  bisa ku rasakan cintanya padaku sangat besar. Dia menungguku selama bertahun-tahun dan harus kecewa karena ternyata saat dia kembali aku sudah menikah dengan pria lain. Azril laki-laki yang sangat baik dan aku akan merutuki diriku sendiri jika sampai menyakitinya atau membuatnya kecewa.

Aku berjanji mencintainya dan selalu ada di sampingnya sebagai istri yang sempurna walau aku tau tidak ada manusia yang sempurna. Aku sudah siap kapanpun Azril meminta haknya.

Tanganku terulur memegang pipi kanan Azril yang masih menatapku. “Bantu aku menyembuhkan lukaku, Azril. Hanya kau yang bisa menyembuhkan lukaku.” Azril mengernyitkan keningnya bingung.

“Hanya ini satu-satunya cara menyembuhkannya.” Tanganku turun mengusap dadanya pelan membuat Azril terkejut. Aku memejamkan mataku dan mendekatkan kepalaku padanya.

Second Love : Separuh NyawaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang