Alana menyadari saat seseorang membuka pintu kamarnya saat ia sedang menyisir rambutnya. Alana tak perlu menoleh pada siapa yang membuka pintunya. Ia bisa melihat dari pantulan kaca yang ada di hadapannya.
Orang yang tak pernah ingin Alana lihat.
"Sarapan dulu sama Papa," ucap orang itu.
"Alana sibuk hari ini hari ulang tahun sekolah," jawabnya tanpa mau berbalik melihat ayahnya.
"Kamu masih sibuk sama organisasi itu?"
"Setidaknya itu yang buat Alana lupa sama masalah yang Alana hadapin."
"Masalah apa yang kamu hadapin?"
"Saya kira Papa tidak akan pernah lupa dengan masalah dua tahun yang lalu. Hampir tiga tahun malah," Alana tak menatap lagi. Dia sibuk mengambil beberapa berkas yang ada di meja belajarnya dan memasukkannya ke dalam tas.
"Tidak baik mengungkit masa lalu Alana."
Alana memasang cardingan seolah tak menghiraukan ucapan ayahnya.
"Alana tidak mengungkit. Hanya ingin menyelesaikan apa yang belum beres di masa lalu. Papa urus saja perempuan itu dan pekerjaan Papa. Alana baik-baik saja sendiri," Alana menggedong tasnya melewati Romi-ayahnya yang masih menatap anaknya.
"Maka Papa tidak akan membiayai biaya rumah sakit Mamamu."
Alana berhenti melangkah "Lalu Alana akan semakin membenci Papa," dia menyahut tanpa membalikkan badan.
"Alana!"
"I don't have more time."
Setelah itu ia pergi mengayuh sepedanya dengan air muka yang datar. Ia pergi dengan keadaan hang kacau dan tak peduli jam berapa. Mungkin lebih tepatnya ia menahan air matanya untuk tidak jatuh. Alana tak ingin memperlihatkan kesedihan di depan siapa pun. Karena sebagian besar manusia hanya ingin tahu. Bukan benar-benar peduli.
Alana benci setiap tatapan yang pura-pura peduli.
****
"Hai Lan," sapa Bagas saat melihat Alana yang baru memakirkan sepedanya."Hai."
"Gimana sama usaha soal—"
"Juna sama Aldrio? Gue rasa ya masih begitu. Aldrio batu, mungkin entar gue coba ngomong sama Juna," Alana menyunggingkan senyum yang malah membuat Bagas tak enak.
"You shouldn't to know."
"Maksud elo?"
"Ah ngga papa. Gue duluan."
"Oiya jangan lupa kasih tau Faren entar dia tampil. Malem ya."
Bagas mengacungkan jempolnya lalu berbalik pergi. Alana masih bertanya-tanya apa maksud ucapan Bagas. Tapi, ia tak ingin mencari tahu lebih jauh. Ada hal yang lebih penting untuk ia urus.
Alana menghampiri Vina yang sedang memriksa rundown acara.
"Gimana anak-anak udah pada kumpul?" tanya Alana.
"Udah kak, tinggal nungguin Kak Aldrio aja lagi," jawabnya.
"Kenapa sama gue?" sahut Aldrio yang langsung merangkul Alana.
"Emm...anu kak nanti kakak stand by kalau udah selesai nyanyi lagu Indonesia Raya terus ini rundown acara buat pagi ini. Buat acara malem nanti anak acara yang bakal kasihin ke kakak. Lebih tepatnya kak Mario," jelas Vina lalu memberi selembar kertas pada Aldrio.
KAMU SEDANG MEMBACA
Halo Alana
Teen Fiction[COMPLETED] Bagi Alana hidupnya akan damai jika tak berurusan dengan Aldrio atau Juna. Menyenangkan menjadi wakil ketua osis. Jika ketuanya bukan Aldrio, si manusia es yang suka bertindak semaunya. Menyenangkan menjalani hidup SMA dengan sejuta nove...