Extra - three

1K 91 16
                                    

So, baby, hold on, I can’t leave you alone
from a distance
I follow you

****

Alana

Gue nggak tau harus ngomong apa sekarang. Bahkan semesta seolah mendukung semua yang terjadi, awan mendung, petir yang mulai bersahutan dan hujan yang perlahan turun membasahi pohon di bagian belakang halaman. Kamar bukan solusi yang terbaik, meskipun gue tau gue butuh sendiri sekarang. Tapi terjebak di dalam kamar dalam sunyi dan sendirian jauh lebih buruk untuk sekarang.

Ah sial, cowok itu memang punya efek sedahsyat ini. Gue mendadak jadi nggak minat buat segera berganti baju padahal ini udah jam tujuh malam. Gue sempat khawatir soal dia yang tadi hanya berdiam di dalam mobil sebelum akhirnya dia benar-benar pergi. Kenapa semuanya secepat ini?

Gue memandangi room chat gue dengannya.

Aldrio
Lusa ulang tahun Mama di restoran Jepang kesukaan Mama. Kamu mau aku jemput?  06.30 PM

Gue nggak membalas hanya sekedar membaca pesan itu. Gue rasa ini bukan waktu yang tepat bagi gue untuk membalasnya tapi kalau misalnya nggak gue balas Aldrio bakalan mikir apa? Ah sial, gue jadi uring-uringan.

Sejak menutup pintu rumah dan masuk ke kamar gue selalu digelayuti rasa bersalah setelah mengucapkan tadi. Gue benar-benar emosi terhadap dia. Menurut gue dia itu childish dan egois. Pemikiran nggak berdasar itu membuat gue jadi merasa wanita yang gampang berpaling hanya karena jauh dari pasangannya. Dia sendiri yang bilang kalau gue harus mengejar mimpi gue  lantas kenapa sekarang dia jadi pihak yang paling menentang kemauan gue. Nggak adil! Ini mimpi gue sejak dulu. Kuliah kedokteran dan Papa sangat mendukung. Kenapa sih dia nggak mendukung gue aja? Kenapa dia harus kayak gitu?

Gue menghela napas. Ntahlah, pikiran gue jadi semakin rumit memikirkan hal itu. Seperti masalah nggak berujung.

"Mikirin apa?"

Perhatuan gue sepenuhnya teralihkan pada Papa yang sedang mendekat sambil membawa  satu mug coklat panas.

"Nggak ada."

"Kamu itu nggak bisa bohong sama Papa. Aldrio?"

"Nggak!"

"Iya berarti. Kenapa?"

Papa nggak boleh tau. Apalagi soal keinginan gue yang mau membatalkan pertunangan itu. Gue dari tadi memikirkan apa sebaiknya begitu? Biar dia nggak bisa melarang gue lagi karena dia bukan siapa-siapa lagi setelah itu.

"Nggak kenapa-napa Pa?"

"Oh," Papa bersandar ke kursi masih memegang mug itu dan akhirnya Papa menghela napas. Papa menegakkan punggungnya lalu menatap gue dalam. Papa nggak pernah melakukan ini jika bukan membicarakan hal serius.

"Udah cerita soal beasiswa itu?"

"Udah."

"Apa jawaban Aldrio?" tanya Papa sembari memberika satu mug cokelat panas ke gue.

"Nggak boleh."

"Makan ijin dari Papa juga akan berkurang dua puluh persen."

"Kok gitu?"

"Kenapa dia nggak setuju?"

"Takut aku selingkuh sama cowok sana."

"Kok Papa diam?"

"Yakin?"

"Pa!"

Papa tergelak lalu menyandarkan punggungnya di kursi dan menatap langit yang suram. "Kamu nggak tanya lagi? Barangkali dia ada sesuatu yang dikhawatirkan? Sesuatu yang lain, yang mungkin kamu anggap sederhana tapi nggak buat dia."

Halo AlanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang