29. The Ending

1.1K 136 82
                                    

Yang pergi dan tak akan kembali

Itu menyakitkan

Apalagi setelah tahu, kalau dia berharga

Dan memiliki efek sebesar itu

Di kehidupan kita

Tapi dia sudah pergi

****

Kehidupan tidak pernah menawarkan sesuatu yang mudah. Manusia akan selalu diuji dengan berbagai hal. Selalu ada rasa bahagia dan sakit selama kehidupan berlangsung.

Sangat mudah untuk mengetahui rasa dari makanan atau minuman. Namun, manusia tidak akan pernah bisa merasakan secara langsung jika menyangkut hati dan perasaan. Ada rasa empati, yang bisa dirasakan melalui emosi yang tersalur. Tapi memahami perasaan tetap tidak semudah itu.

Lelaki itu duduk di tepi ranjang lalu mengusap wajahnya frustasi. Pikirannya sedang tidak jernih, banyak hal yang berkecamuk di dalam pikirannya. Ia sudah berusaha menghubungi wanita itu, berkali-kali tapi tetap saja panggilan itu diabaikan begitu pula pesan yang ia kirimkan.

Ternyata sakit diabaikan.

Itu adalah hal yang Aldrio rasakan saat tak kunjung mendapat balasan sama sekali dari Alana. Cowok itu tak bosan-bosan memandangi ponselnya selama semalaman. Mengabaikan notifikasi entah dari sosial media atau grup chat yang mampir ke ponselnya. Aldrio juga mengabaikan pesan dari Meisha. Aldrio terlalu larut memandangi ponselnya hingga ia tanpa sadar terlelap dengan ponsel yang masih ia genggam.

Sayangnya, tak ada balasan sama sekali.

****

Pagi itu mentari tampak malu-malu menunjukkan sinarnya. Justru gumpalan awan hitam mulai bergelung di atas langit membuat pagi ini tampak sangat muram.

Aldrio berangkat sebelum jam menunjukkan pukul enam. Hal itu membuat Anjani-ibunya-sempat keheranan melihat tingkah Aldrio. Cowok itu mengedarkan pandangannya ketika sampai di kelas Alana. Belum ada tanda-tanda bahwa Alana sudah menginjakkan kaki fi kelas itu.

Aldrio merogoh kantung celananya, mengambil ponsel dan membuka aplikasi chat untuk mengirimkan pesan pada Alana.

Kamu di mana?

"Ngapain lo?!"

Suara itu membuat Aldrio sedikit tersentak dan refleks menoleh. Tere sedang berdiri di sampingnya-atau lebih tepatnya bangku yang ia duduki yang telah ia yakini sebagai bangku Alana.

"Gue-"

"Nyari Alana?"

"Iy-"

"Ngga ada, dia ngga ada. Kalau pun ada ngga mau ketemu sama lo. Sana lo pergi, lo ngancurin mood gue karena gue liat elo."

Aldrio bangkit, menyampirkan tasnya lalu melangkah pergi.

"Gitu tuh, kalau otak ditaruh di dengkul."

****

Ruangan itu sangat sepi, jarum jam berdetak seolah memekakkan telinga. Dia sedang duduk dan menatap tanpa minat ponselnya yang sedari tadi ia mainkan dengan menggulirkan layar ke atas dan ke bawah.

Halo AlanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang